Bab 18 : Breakup

20 7 1
                                    

Hello! Welcome to Behind the wall : Bab 18. Breakup

Udah lama gak update, ternyata kangen juga ya hahah
Vote and komen 🙇‍♀️

Warning!!
Hati-hati banyak kata-kata kasar dan typo bertebaran.

[Happy Reading]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Happy Reading]

"Jika itu yang terbaik. Aku tidak bisa berbuat apapun, kan?"

--Alvina Dayati Delmora

Dunia gak adil buat semua orang, jadi.. jangan ngerasa lo paling menderita disini.

--Behind the wall

        Bunyi detak jam terdengar di ruang tengah Alvina bersautan dengan suara televisi yang di nyalakan untuk menemani kesunyian di rumah ini.

Satu menit, dua menit... bahkan satu jam sudah terlewati tetapi Alvina, gadis itu masih termenung di sofa dengan sorot mata kosong. Pancaran ceria di kedua matanya entah pergi kemana tergantikan begitu saja tanpa aba-aba.

Matanya kosong, tapi di dalamnya penuh kesedihan, dia juga lelah, juga merasakan sakit, batinnya pun ikut terus bersautan, otaknya sudah penuh.

Dalam otak dan hatinya ada satu keinginan yang sama. Lari. Lari dari sini dan pergi tanpa harus kembali, tapi tunggu... dia tidak bisa lari meninggalkan semuanya disini.

Bodoh.

Otaknya kembali berpikir. Apa yang harus dia lakukan untuk lepas dari semua ini?

TOK
TOK
TOK

Suara ketukan dari pintu depan menyadarkan Alvina kembali ke dunia. "Bego. Gua daritadi ngapain, sih?!" kesalnya mematikan televisi dan berjalan untuk membukakan pintu.

TOK
T-

"Ada ap-" ucapan Alvina terhenti begitu melihat sosok di depannya yang menatapnya dengan sorot mata menyakitkan.

"As..." panggil Alvina pelan.

Orang yang di panggil namanya memeluk dia tanpa aba-aba membuat mereka hampir saja jatuh.

Alvina bingung dan ingin bertanya tapi pertanyaan itu dia telan bulat-bulat saat dia merasakan bahunya basah yang dia tahu itu adalah airmata.

As, nangis?

Mengetahui itu Alvina membiarkan saja semua ini berlalu tanpa merasa keberatan berdiri berlama-lama disana, apalagi jika tetangga melihat dia juga tak perduli karena yang dia pikirkan saat ini adalah Maskanya yang menangis tanpa dia tahu penyebabnya.

***

"As, why are you?" tanya Alvina kesekian kalinya.

Setelah adegan Maska yang memeluk Alvina tanpa aba-aba sampai saat ini, Maska diam tanpa ingin mengeluarkan suara apapun.

Dengan sabar Alvina memegang telapak tangan Maska dan menatap wajah Maska yang tampak lelah. "You said we can't hide anything from each other. but, why are you silent now don't want to tell anything now,"

"Please, tell me whatever it is. As, I beg you..." mendengar Alvina memohon padanya, membuat Maska merasa tidak tega.

"Alvina," panggil Maska lembut.

"Iya?"

"Alvina sayangnya aku,"

"Iya, As..." jawab Alvina sabar.

Maska menyatukan kedua kening mereka dan menatap manik cokelat Alvina yang membuat dia merasa tenang setiap kali dia menatapnya, tapi tidak kali ini.

"Sorry for everything, by," bisik Maska mengecup kening Alvina membuat sang empunya bingung.

"For what? Kamu gak salah apapun," ucap Alvina menjauhkan diri.

Tiba-tiba saja dia merasakan hal tidak enak di hatinya, gadis itu merasa gelisah dan takut. Perasaan ini membuat dia sesak.

"Vin-" baru saja Maska ingin mengutarakan hal yang sudah dia siapkan sejak berangkat menuju kesini, tapi Alvina menghentikannya. "Don't say anything." pinta Alvina tegas.

Dia bangkit dari duduknya dan menutup kedua telinganya. "Aku gak mau denger apapun," ucap Alvina berjalan menjauh dari sofa.

"Vina!" panggil Maska menghampiri Alvina yang ingin menaiki tangga rumah menuju kamarnya.

"Aku harus bilang ini sekarang," ucap Maska memegang tangan Alvina.

"Aku gak mau denger!" bentak Alvina menepis tangan Maska, tapi tidak berhasil. Maska memegang erat tangannya.

"Tapi aku harus bilang ini..." bisik Maska mencoba memeluk Alvina walaupun gadis itu memukuli tangan, perut, bahu dan dadanya berulang kali untuk melepaskan diri dari jeratannya.

"Alvina Dayati Delmora. You are the most beautiful thing I've ever met, who I can't forget, and who I take care of. Tapi, aku gagal. Maaf Vin, ini semua salah aku. Senyum cantik kamu hilang, itu semua karena aku. Sorry..." ucap Maska pelan.

"Vin, aku harap kamu selalu bahagia,"

"Putus. Kita akhiri hubungan ini."

Itu adalah kata terakhir Maska sebelum pada akhirnya dia meninggalkan Alvina yang mematung di depan anak tangga.

Gadis itu jatuh terduduk disana dengan pandangan kosong. "Bahagia?" gumamnya lalu dia tertawa kencang seperti orang bodoh setelahnya.

"Even to be happy it's hard, As... kamu gak tau apapun," Alvina menekuk lututnya dan membawa kepalanya untuk di sembunyikan disana.

Hancur.

Tak ada yang bisa dia lakukan lagi.

"Jika ini yang terbaik. Pada akhirnya aku gak bisa melakukan apapun, kan? Lucu banget, dunia ini terlalu lucu buat gua,"

Berserakan.

"Na," Alvina mendongakkan kepalanya melihat Radella yang berdiri mematung disana.

"El, semuanya selesai. Gak ada yang bisa gua lakuin, udah gak ada apapun untuk gua pertahanin sekarang," adu Alvina tanpa perlu dijelaskan lagi Radella segera saja memeluk Alvina dengan rasa bersalah dihatinya.

Radella memundurkan langkahnya. "Gua cuma mau ingetin lo. Lindungi Alvina atau... menjauh dari hidupnya." ucap Radella tegas.

Dia menyesali perkataannya saat itu. Maska terlalu bodoh untuk mempertahankan temannya di samping pemuda itu.

"Sorry, Na.." gumam Radella pada Alvina.

Alvina diam walaupun dia mendengar gumaman itu. Suaranya terlalu kelu dan permintaan maaf Radella memberitahu satu hal padanya. Gadis itu menemui Maska dan memberitahu hal kemarin.

Tapi, tindakan Radella sudah benar dan Maska membuat dia kecewa. Sangat...[]

Behind the wallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang