Duaarrrr,,,
Terdengar dobrakan pintu sangat keras membangunkan sepasang mata dari lelapnya pejaman sepanjang malam."Iiiin,, bangun lo anak Haram! Dasar wanita gak guna lo ya"
Terikan yang di sertakan dengan tamparan keras menerpa wajah seorang gadis yang baru beranjak remaja.
Tubuh yang baru terbangun sontak mengerang kesakitan."Bik, apa apaan sih?"Tanya gadis itu dengan memegang wajah yang memerah karna tamparan keras.
"Dasar anak gak tau diri. Lo klau masih mau tinggal di sini, lo keluar cariin gue duit yang banyak, jangan cuma jadi beban. FAHAM!!!"
Jelas seorang wanita berusia 40th dengan tampilan acak-acakan berbaur baju mini dan beraroma alkohol, yang tidak lain adalah bibiknya sendiri.
"Inikan rumah In bik, jadi bibik gak ada hak buat maksa In keluar dari sini" Membalasnya dengan tatapan tajam
"Gak tau diri, gue yang urus lo dari kecil. Gue yang kerja, dan sekarang lo brani kayak gini ke gue. Dasar anak haram" Kali ini dengan suara lantang setengah berteriak,
"Bik, stop bilang gitu. Ibu In orang baik-baik. Dan In gak terima bibik,,"
belum sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan kembali mendarat di bagian wajah yang sama dengan kemudian tubuhnya yang di seret keluar.
Dalam keadaan yang sempoyongan, ia masih mampu menyeret tubuh yang terlihat sama besar dan lebih tinggi itu hingga melempar nya keluar rumah.
Tubuh In jatuh berbentur tanah disertai lemparan beberapa barang yang mengenai punggungnya kala itu."Gue gak peduli lo anak haram atau tidak, lo harus bawa duit, sekalipun lo ikut jejak orang tua lo. Pergi loo,,,!"
Teriakan itu kini terdengar sedikit samar karna diiringi bantingan pintu dari arah dalam rumah In.
Kejadian itu sudah biasa terjadi di lingkungan itu, sehingga tetangga ataupun orang-orang di sana hanya menatap tanpa bereaksi apa-apa. Namun, tidak jauh dari posisi In yang kala itu langsung berdiri sembari merapikan pakaiannya, terlihat seorang gadis kecil menatapnya iba. In yang menatapnya sengaja seolah sudah menghafal apa yang akan terjadipun perlahan mendekat dan menatapnya lekat-lekat seolah mengisyaratkan untuk tidak menangis."Kakak, nanti kita ke doktel ya belobat" suara cadel yang terdengar menggemaskan
Gadis kecil itu menguatkan In agar tidak sedih meski diperlakukan jahat oleh ibunya,
"Imaa,, kenapa kita harus ke dokter. Kakak kan ada ima, yang bisa obatin kakak" balasnya dengan mata berkaca-kaca dan bibir yang tersenyum
Ucapannya masih lembut dan menghibur meski wajah babak-belur,
"Kak Ainun, akan Ima kacih obat bial enggak cakit lagi. Kakak akan sehat telus deh" Ucap gadis kecil itu yakin dengan angan-angan sederhana yang dirangkum nya sekian lama.
"Waaah,,pintar sekaliii adik baik cantiknya kak In. Tapi sebelum itu pake obat mantra dulunya dong"
Ima yang sudah mengerti maksudnya pun menyelipkan tangannya dari celah jendela menggapai bagian wajah In yang terlihat memerah dan sedikit memar dengan lembut.
"Kakak baik, kakak cantik, mantla sakti peli ima,, CEMBUHLAH"
In yang berusaha menahan sakitnya pun tersenyum dan perlahan berdiri lalu melangkah pergi.
Dilain tempat
Suara bising klakson kendaraan roda dua dan lainnya seperti tengah bertarung membuktikan ketangkasannya, kekuasaannya pada jalanan padat berhimpit. Suasana semerawut berpolusi di siang hari yang tengah terik tidak menandakan sedikitpun akan turunnya hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AINUN s.1 [ END ]
Teen Fiction"Kita tidak gagal saling mencintai. Kita hanya gagal untuk saling memiliki" batin In Seketika tangis Yusuf pecah dalam kesendirian setelah In lenyap dalam bayang matanya. "In, mungkin setelah ini aku akan membenci dunia yang tidak ada kamu di dalamn...