N

124 28 1
                                    

Makasih masih mau bertahan

"Hidup kakak benar-benar berantakan, semua nya jadi hampa, seakan setengah dunia kakak itu hilang, mental kakak terganggu, kata orang tua kakak, mereka selalu ngelihat kakak ketawa sendiri, bicara sendiri, lari-lari-an sendiri.

Yang mereka lihat beda sama apa yang kakak lihat, di mata kakak itu, kak Indri masih ada, sering ngajak kakak bicara, main bareng, becanda bareng, nonton bareng, banyak hal yang kita lakuin sama-sama.

Sampai akhirnya kakak sadar, kalau semua itu hanya ilusi semata, ternyata kak Indri emang nggak pernah balik lagi buat becanda bareng sama kakak, semua cuman ilusi yang kakak ciptain sendiri, namun anehnya semuanya terasa nyata, benar-benar nyata.

Dan orang tua kakak mutusin bawa ke psikiater, dan katanya kakak mengidap gangguan Skizofrenia, kakak nyiptain Kak Indri dalam ilusi kakak.

Mulai dari situ, kakak mulai rutin ke psikiater, ngejalanin psikoterapi, konsumsi beberapa obat, dan selalu dihindarkan oleh hal-hal yang bersangkut paut dengan Kak Indri, cara itu untuk mempercepat pemulihan, karena setiap ngeliat foto kak Indri aja ilusi itu muncul lagi, berakhir kakak yang terbawa suasana, mengikuti semua permintaan Kak Indri, walaupun apa yang di suruh kak Indri sangat berbahaya.

Dulu, waktu pulang sekolah, di dalam ilusi kakak, kak Indri nyuruh buat ngikat dasi sekolah itu ke leher kakak, katanya supaya kita berdua bisa ketemu lagi, ngabisin waktu bareng-bareng lagi kayak dulu, hanya karena bisikan itu, kakak ngelakuin apa yang di minta Kak Indri, bodoh memang, untung nya orang tua kakak datang tepat waktu, walau berakhir kakak terbaring di kasur rumah sakit, dan ngejalanin psikoterapi nya juga di rumah sakit, dan tiap malam nya, kakak dihantui ketakutan, selalu mikir, apa yang kakak lakuin ini udah benar atau belum? nggak jarang juga kakak selalu dihantui bayangan Kak Indri yang marah sama apa yang kakak lakuin, mau ngejelasin tapi percuma, dan akhirnya kakak dinyatakan mengidap gangguan lain lagi, aneh memang, rutin psikoterapi nggak menutup kemungkinan kalau kakak bisa punya gangguan lainnya.

Disini nggak tau siapa yang salah, nggak bisa nyalahin Kak Indri juga, tapi emang sayang nya aja Kak Indri masuk ke golongan manusia yang berlomba dan sangat antusias untuk menjadi yang paling sempurna, membuang segalanya yang dimilikinya hanya untuk meraih taraf yang sebenarnya nggak nyata sama sekali.

Juga kadang kecewa sama diri sendiri, cuman karena kejadian itu, banyak perubahan yang terjadi di dalam diri kakak, terlalu overprotektif sama orang tua kakak, selalu overthinking dengan sesuatu yang belum tentu terjadi tapi bukan berarti nggak akan terjadi..."

Andra menarik nafas nya pelan.

"Yaahh, setiap harinya kakak ngejalanin hidup yang kayak gini terus, selalu berada di hidup yang monoton berjalan dengan hal-hal itu-itu aja, nggak ada yang berubah sama sekali, benar-benar membosankan tapi setidaknya lebih baik dari dulu," jelas Andra benar-benar panjang, yang biasanya irit bicara berubah menjadi boros bicara. Eh?

Pelukan yang memakan waktu lama itu kini terurai, Raena memandang lekat mata Andra lalu mengangguk, yang membuat Andra menyerngit kan dahinya, seolah-olah bertanya

Kenapa?

"Eum...mungkin itu alasan Kakak pengen jadi dokter psikologi?" tanya Raena asal menebak.

"Hm? kok tau?" bingung Andra.

"Nggak, nebak aja sih, kalau masalah benarnya itu, mungkin karena kepintaran aku aja," jawab Raena menyombongkan diri, lalu terkekeh geli dengan ucapan nya itu.

"Cih! PD banget," balas Andra ikut terkekeh.

"Yang sabar ya kak, setiap orang memang nggak bisa mengelak dari yang namanya ujian atau cobaan hidup. Namun, setiap permasalahan yang terjadi di hidup pasti memiliki pelajaran yang bermanfaat. Kalau bisa bersabar dan bersikap tenang, kita pasti menemukan jalan keluar dari setiap cobaan yang menghadang kita

And see? ternyata kakak bisa lebih baik lagi kan? dari pada kakak yang dulu?" celetuk Raena.

Kembali Andra berdecih.

"Sok bijak!" ejek nya lalu tertawa melihat perubahan ekspresi Raena yang tadinya tersenyum bangga langsung terdiam dengan tatapan yang mematikan.

"Ish, di bilangin juga," acuh Raena,memalingkan wajah nya malas.

"Iya, canda-canda, btw makasih support dan kata-kata bijaknya," ujar Andra setelah meredakan tawanya namun dari kata-kata nya ada terselip nada bicara yang...yang...yang apa ya?

"Support? yang nyupport kakak siapa? PD bener," balas Raena tak mau kalah, berdiri lalu melangkah kan kakinya keluar dari ruangan itu, mendahului Andra. Lagi pula sudah waktunya pulang.

"Eh? ditinggal dong? eh Raena wait for me! janji nanti kakak traktir beli ice cream,heh!" teriak Andra.

Mendengar kata ice cream, mau tak mau Raena memberhentikan langkah nya, lalu memutar badannya 180° menatap malas laki-laki tengil yang sayangnya tampan itu mulai mendekati nya.

"Yaudah buruan!" seru Raena tak sabaran.

"Yeee,masalah traktir-an aja cepat," cibir Andra yang sekarang melangkah melewati Raena, tak peduli kalau seonggok daging yang baru dilewati nya itu menggerutu mengeluarkan banyak sumpah serapah.

"Huh, sabar Raena sabar, ini ujian...eh tapi nggak bisa anjir! Kak Andraaaa!!!" teriak Raena kuat, untung lingkungan sekolah sudah sepi.







Tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain tentangmu, kamu adalah dirimu sendiri dan apa adanya.

—To Be Continue—

𝐏𝐚𝐢𝐧𝐟𝐮𝐥 𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐧𝐞𝐬𝐬 [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang