BAB 27

271 47 10
                                    

Malam ini Nayra berada di kamar lamanya yang berada di lantai dua. Kamar yang sudah beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan beberapa barang tak terpakai itu nampak remang. Nayra duduk di ranjang lamanya sembari menatap jendela, lebih tepatnya ke kamar Jeremy yang memang berada tepat bersebrangan dengan kamar lamanya. Gadis itu tersenyum kecil ketika mengingat perhatian Jeremy padanya, bagaimana pria itu mengasuh Kyra, tutur katanya, senyumnya. Jeremy adalah pria berkharisma dan baik. Nayra menyukainya, hanya saja ada tembok besar yang membuat mereka mustahil untuk bersama. Nayra bahkan tak berani mengucap namanya dalam doanya.

Di saat yang hampir bersamaan, bayangan Joan yang sebenarnya tak terlalu dekat dengannya itu tiba-tiba datang. Joan yang sekarang memang berbeda dengan Joan yang pertama kali dia temui dulu. Dia lebih sopan, bahkan lebih santai dan berbicara dengan diselingi sedikit candaan. Joan pun mulai perhatian dengan Nayra. Bahkan tanpa dia duga, Joan melamarnya. Tadi sore dia menerima telefon dari pria itu yang mengatakan jika mungkin dia akan segera datang bersama kedua orang tuanya untuk melamarnya. Ini sangat bertolak belakang dengan Joan yang dulu sangat membincinya karena dia lumpuh.

Apa itu artinya Kak Joan udah menerima aku? pikir Nayra.

Ada pergulatan batin dalam diri gadis itu. Di satu sisi dia tau jika Joan mungkin sudah menerima kondisi fisiknya, tapi di sisi lain dia juga tidak terlalu yakin Joan menerimanya sepenuhnya. Mereka belum lama mengenal, hanya beberapa kali bertemu dan berbincang. Joan sedikit terkesan terburu-buru.

Nayra sudah meminta petunjuk pada Allah, tapi tetap saja masih ada keraguan dalam hatinya. Kata bundanya itu memang hal biasa. Pernikahan bukan hal sepele, pernikahan adalah ibadah seumur hidup. Bahkan bundanya dulu sudah berpacaran dengan ayahnya cukup lama, tapi ketika ayahnya melamar, bundanya juga ragu. Kata ayahnya, ayahnya dulu juga ragu bahkan sehari sebelum akad nikah. Tapi sekarang mereka sudah berumah tangga nyaris dua puluh lima tahun dan semua baik-baik saja.

Nayra menghela nafas berat. Dia menengok ke kolong tempat tidurnya. Ada sebuah kardus di sana. Nayra menarik kardus itu keluar dan mengambil sebuah buku catatan dari dalam kardus.

Nayra menepuk beberapa kali sampul buku yang amat berdebu itu. Setelah dirasa cukup bersih, dia membuka secara acak halaman buku itu. Gadis itu tersenyum kala membaca lagi tulisan lamanya. Dulu Nayra memang suka menulis catatan harian. Tapi setelah kepergian mantan kekasihnya, Nayra tidak pernah melakukannya lagi. Lebih-lebih ketika dia mulai perjalanan hijrahnya, dia lebih sering bercerita pada Allah tentang banyak hal. Bahkan lebih sering bercerita pada bundanya.

'Happy anniversary, Nayra. Sayang kamu selamanya.'

Nayra tersenyum kecil melihat sebuah tulisan dengan tinta merah di sebuah lembar usang bukunya. Nayra mengusap tulisan itu perlahan. Bibirnya bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca. Kenangan yang rasanya belum lama itu kembali hadir membuka luka. Jika boleh jujur, Nayra belum sepenuhnya melupakan pria itu. Dia sudah mengisi hari-hari Nayra dengan kebahagian selama beberapa tahun. Banyak hal pun mereka lalui bersama. Bukan hal mudah jika harus mengikhlaskan kepergiannya.

Nayra memejamkan mata, membiarkan buliran bening itu luruh. Nayra kembali mengingat kenangan bersama pria itu.

Di teras gedung sebuah kampus itu Nayra bersama pria bernama Nata tengah duduk sembari menunggu hujan reda. Keduanya duduk di sebuah kursi dengan kepala Nayra yang disandarkan pada pundak sang pria. Kebetulan, saat itu sedang sepi karena sudah nyaris gelap.

"Nat, nanti beli es krim, ya? Sama mau ayam KFC," kata Nayra.

"Boleh, mau beli burger sekalian buat Robin?"

"Ih, gak usah dibeliin Robin. Kamu perhatian banget sama dia."

"Yah, gak salah kan. Perhatian sama adik ipar sendiri."

Restart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang