BAB 29 [ENDING]

770 62 9
                                    

Jantung Joan berdebar tak karuan sekarang. Beberapa kali mengatur nafas agar lebih tenang, tapi tak mempan. Dia masih di rumah. Berdiri di depan kaca dan berlatih berbicara. Hari ini harus dia sendiri yang mengucapkan lamaran itu pada ayah Nayra. Jika sebelumnya mulut Joan mengeluarkan hinaan dan umpatan untuk Nayra, tapi sekarang dia ingin mengucapkan kalimat lain yang lebih sopan dan penuh ketulusan dari mulutnya.

"You can do it, Jo. Come on, lo udah pernah lakuin ini ke orang tuanya Mega dulu. Sekarang tinggal ngulangin lagi, cuma beda orang," monolognya.

"Ya Allah, kenapa gue kayak orang goblok gini?"

Joan menggsosokkan kedua tangannya yang mulai berkeringat dingin. Dia masih di rumah dan sudah seperti ini gugupnya, bagaimana jika sudah berhadapan dengan orang tua Nayra? Belum lagi adiknya yang super jutek dengan Joan.

"Astaghfirullah... Astaghfirullah..." Joan mencoba beristighfar beberapa kali. Hal ini dia lakukan untuk mememangkan diri. Sejauh dia mencoba cara ini, memang cukup ampuh. Kata Pak Ustad di kajian hari Jumat pagi, berdzikir dapat menenangkan hati.

Joan memejamkan mata sembari meletakkan kedua tangannya di dada, beberapa kali mengucap istighfar dan berdzikir pelan.

"Joan."

Kontan Joan terperanjak. Dia membuka mata dan menadapati mamanya yang tersenyum di ambang pintu.

"Masyaallah, anakku gantengnya..."

Bu Mery berjalan masuk sembari tersenyum jahil. Joan hanya menggaruk kepalanya karena sedikit malu.

"Uh, ganteng sekali anak Mama..." kata Bu Mery sambil mencubit gemas pipi Joan.

"Mama, apaan, sih? Sakit, tau," kata Joan sambil melepas tangan sang mama dari pipinya.

"Gimana? Udah siap? Mau berangkat sekarang?" tanya Bu Mery. "Papa kamu udah siap loh, dari tadi. Gak sabar katanya. Ini lagi telfonan sama Pak Rahmat."

"Um... Siap sih, Ma. Tapi Joan takut ditolak. Agak gugup aja ngomongnya. Joan juga harus jelasin kenapa Joan pengen nikah sama Nayra cepet-cepet. Joan mau bawa Nayra ke Jepang, orang tuanya juga belum tau, Ma. Gimana, dong?"

"Itu bisa dijelasin nanti, Jo. Gak masalah mau diterima atau ditolak, yang penting kamu sudah menyampaikan maksud baik kamu. Nayra berhak kok, menerima atau menolak. Kamu sudah berdoa sama Allah, kan? Sudah meminta petunjuk, sudah meminta bantuan sama Allah. Katanya udah belajar agama dari kemarin-kemarin, tiap Jumat ikut kajian di masjid. Masa keimanannya sama Allah gak bertambah? Percaya dong, sama Allah."

Joan perlahan mengembangkan senyumnya. "Iya juga, Ma. Kenapa Jo harus takut kalau Jo udah berusaha. Jo juga udah berdoa, akhirnya Allah yang nentuin. Nayra juga pasti udah nanya ke Allah kan?"

"Tuh, tau. Jadi udah siap?" tanya Bu Mery.

Joan mengangguk mantap kemudian Bu Mery merangkul lengan kekar putranya untuk diajak keluar.

"Papa, anaknya udah siap nih... Udah ganteng. Lihat deh, Pa."

Pak Bondan yang tengah duduk di teras depan itu terkekeh melihat kedatangan istri dan putra tunggalnya.

"Ngapain Papa ketawa? Ada yang aneh dari penampilan Joan? Ada yang lucu?" tanya Joan.

"Enggak," kata Pak Bondan sambil menggeleng. "Cuma masih gak nyangka aja, kamu akhirnya menjilat ludahmu sendiri, hahaha... Kasihan kemakan omongannya sendiri. Dulu menghina fisiknya Nayra, sekarang jatuh cinta sama keimanannya. Dari dulu gini kan enak, gak perlu drama-drama kamu pakek kabur dari rumah juga."

Joan merotasi bola matanya. "Kenapa harus dibahas, sih?" katanya dengan suara pelan.

"Papa, jangan bikin anaknya gak mood, dong. Lihat anak Mama udah ganteng gini, masa dibikin kesel gitu. Udah, ayo berangkat keburu siang, panas, macet, nanti make up Mama luntur."

Restart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang