BAB 16

357 72 5
                                    

Joan tidak habis pikir dengan hal bodoh yang dia lakukan beberapa hari lalu. Menyelamatkan Mega ternyata bukan hal yang sepenuhnya bagus. Dia jadi harus mengorbankan nyawanya untuk mantan kekasihnya itu. Beruntung nyawa Joan tak benar-benar melayang. Pria itu hanya mengalami luka kecil di kepala dan tulang retak di kaki dan tangannya terdapat beberapa luka.

Joan menatap Sang Mama yang duduk diam di samping ranjangnya. Wanita itu nampak sedang memainkan ponsel. Joan bisa tebak jika mamanya itu tengah mengeksplore laman belanja online atau mengurus bisnis online barunya.

"Ma." Joan memanggil Sang Mama.

Wanita itu menoleh saat Joan memanggilnya. Wajah wanita itu nampak sedikit pucat dan hal itu tentu membuat Joan khawatir dan merasa bersalah.

"Apa?" tanya wanita itu dengan lembut.

"Mama udah gak pulang tiga hari. Mama gak capek? Mama pulang istirahat, gih," kata Joan.

"Terus siapa yang jagain kamu?"

"Joan udah dewasa. Bisa jaga diri sendiri. Ada dokter, ada suster juga. Mama gak usah khawatir berlebihan gitu. Lagian Joan udah gak papa."

"Gak papa apanya? Itu kepala, tangan, sama kaki diperban gitu. Terus kamu kemarin seharian lebih gak bangun. Jantung Mama udah copot pas tau kamu kecelakaan karena mau nyelametin mantan kamu itu."

Joan menghembuskan nafas. "Ya mau gimana lagi, Ma? Masa Joan biarin orang ketabrak gitu aja?"

"Ya tapi kamu gak harus mengorbankan nyawa kamu buat dia juga? Lagian kalau begitu, kamu jadi bikin dia berharap lagi sama kamu. Mama gak habis pikir sama Mega, udah punya suami, masih aja ngejar-ngejar kamu. Emang dia itu bukan wanita yang baik. Bener kan tebakan Mama?" Wanita itu mengomel sambil menatap kesal putra semata wayangnya. Terlampau kesal juga karena anaknya ini bodoh sekali.

Joan hanya bisa menghembuskan nafas menanggapi ucapan mamanya. Joan pun meraih buku di sampingnya kemudian membacanya. Buku itu adalah buku tuntunan shalat yang baik dan benar hasil meminjam dari Nayra tempo lalu.

Bu Mery--Mama Joan yang melihat Joan malah membaca buku itu menghembuskan nafas. Dia pun memutuskan kembali berkutat dengab ponselnya, membiarkan Joan membaca buku yang sengaja diminta Joan untuk dibawa dari rumahnya.

Sekitar lima menit kemudian, pintu ruangan Joan diketuk. Keduanya menoleh bersamaan dan sama-sama tersenyum saat melihat Bu Mayang datang bersama Nayra.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, masyaallah, Bu Mayang..."

Bu Mery bangkit untuk menyambut dua perempuan itu kemudian memeluk mereka bergantian.

"Ini, ada sedikit rezeki. Tadi siang baru buat kue," kata Bu Mayang kemudian menyerahkan bingkisan itu pada Bu Mery.

"Eh, alhamdulillah... asik, dapat kue gratis. Pasti enak," kata Bu Mery.

"Iya, yang buat Nayra loh," kata Bu Mayang.

"Loh iya kah?" kaget Bu Mery. "Woah, calon menantu idaman ini kayaknya."

Nayra yang mendengar itu terkekeh pelan. Dia jadi malu dipuji begitu. Tapi... ya Nayra mengucap amin paling serius saja, semoga memang dia ini menantu idaman.

Joan yang melihat interaksi ketiga wanita itu diam-diam menyunggingkan senyum. Apalagi melihat gadis berhijab biru itu. Tidak dipungkiri, Nayra memang manis.

"Pak Bondannya lagi ke mana?" tanya Bu Mayang.

"Lagi di rumah, biasanya ke sini habis isya."

"Oh... gitu..."

Restart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang