BAB 10

513 88 18
                                    

Sejak dua hari lalu, tepatnya setelah Joan bertemu Nayra untuk bertanya dan meminta bantuan, pria itu mulai menunjukkan perubahan. Walaupun kecil, tapi percayalah, itu sangat berarti. Mulai dari shalat dengan ikhlas, bahkan Joan pergi ke masjid tepat saat adzan berkumandang. Joan pun sudah berniat menjalankan puasa Senin-Kamis mulai minggu depan.

Niatnya hijrah sepertinya sudah bulat. Apalagi setelah dua hari ini waktu luangnya dia isi dengan menonton video-video berbau agama, Joan makin mantap berubah. Joan bahkan sudah meminta Nayra untuk meminjamkan beberapa bukunya untuk dia baca jika senggang. Dia yakin, perlahan tapi pasti sifat setan dalam dirinya akan berkurang. Joan ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sosok pria yang dewasa dan tidak ceroboh dalam mengambil keputusan. Sosok pria yang kelak bisa menjadi suami dan ayah yang baik untuk keluarganya. Mungkin, dengan perginya Mega, menjadi awal baru bagi hidupnya.

Sejujurnya, Joan sendiri bingung, bagaimana bisa dia berubah secepat ini? Hanya dua hari. Dalam sekejap, rasa tidak sukanya pada Nayra terganti menjadi rasa kagum. Dalam sekejap pula, rasa malasnya dalam beribadah meluap. Tiba-tiba saja dia sadar, jika dia mati nanti, dia masih belum memiliki cukup bekal. Ah, jangankan sadar soal bekal mati, sebelum ini saja Joan tak pernah berpikir akan mati, apalagi mati muda. Yah, mungkin ini yang dinamakan hidayah, pikir Joan. Beruntungnya, Joan mengenal Nayra sekarang. Andai saja-Tunggu, kenapa Nayra?

Joan menjeda video yang di tontonya. Iya, kenapa tiba-tiba dia memikirkan Nayra? Apa sebesar itu efek Nayra pada hidupnya?

Joan menggeleng. "Gak, Joan. Mustahil kalau lo itu berubah karena dia. Lo berubah ya, karena Allah dan diri lo sendiri. Lo udah merasa terpanggil buat taubat, bukan karena cewek itu."

Joan baru saja memainkan lagi vidio di ponselnya. Namun, Bams tiba-tiba menelfonnya.

"Kenapa ni orang?" gumamnya.

Segera, jari Joan menggeser tombol hijau di layar dan dia mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Halo, Bams."

"Halo, Jo."

"Ada apa?" tanya Joan.

"Jo, Mega di sini?"

Joan mengernyit. "Maksud lo?"

"Mega di apartement gue. Baru beberapa menit lalu datang."

Joan terdiam sejenak. "Y-ya, terus kenapa? Apa urusannya sama gue? Kalau dia di rumah lo, ya coba lo telfon suaminya," kata Joan.

"Kalau bisa udah gue telfon sejak tadi. Masalahnya, Mega ke sini nangis nyariin lo. Nangisnya kejer banget, Jo. Untung di sini ada Lisa, jadi gue gak harus pusing diemin dia."

"Ya udah, ada Lisa kan?" kata Joan yang masih mencoba abai pada mantan kekasihnya itu, walaupun jujur, Joan penasaran dengan apa yang terjadi padanya. Joan juga khawatir saat mendengar Bams mengatakan jika Mega menangis sekarang. Tapi, apa daya? Joan tak ingin peduli lagi pada orang yang memberikan luka padanya.

"Masalahnya bukan itu. Duh, gimana ini jelasinnya? Lo ke sini aja, deh, sekarang."

"Sinting ya, Lo? Udah malam ini. Lagian buat apa gue ke sana?"

"Ini ada hubungannya sama lo, Jo. Gue udah bilang Mega kalau lo gak bakal mau datang, tapi tetep aja dia ngotot. Udah, Lo ke sini sekarang, please. Lo sama dia masih ada masalah kan? Anggap aja lo selesaiin itu sekarang."

Joan menghembuskan nafas. "Gak bisa besok, ya?"

"Gak bisa, lo harus ke sini sekarang. Gue tunggu, kalau gak, gue anterin dia ke rumah lo."

Restart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang