BAB 1

2K 132 21
                                    

"Aku gak mau."

"Aku gak mau nikah sama dia, Ma. Aku udah punya pacar dan aku akan nikah sama pacarku."

"Joan..."

"Ma, pelase." Pria itu menyela sang mama yang hendak membuka suara.

"Dimana-mana, orang tua itu nyariin anaknya jodoh yang cantik, pintar, baik, mendekati sempurna, lah... Terus ini apa?"

Pria dua puluh enam tahun bernama Joan Devano Nalendra itu terkekeh. "Cacat? Yang bener aja, Ma, Pa."

"Jo. Bukan masalah dia gak bisa jalan, Nak. Bukan masalah kecantikan dan kesempuranaan fisiknya, tapi ini tentang hatinya, akhlaknya, imannya."

Joan menggeleng guna menjawab perkataan Pak Bonda, sang ayah.

"Maaf, Pa. Jo gak bisa nikah sama anaknya Pak Rahmat. Jo gak kenal dia. Ketemu cuma sekali dan itu cuma beberapa menit. Jo gak akan mau. Kalaupun Jo menikah, Jo akan menikah dengan Mega. Dia itu sempurna, gak kaya si Nayra yang cacat itu."

"Joan, Mama sudah bilang sama kamu kalau Mega itu bukan wanita yang baik, Nak. Kenapa kamu masih kekeuh dengan dia?" kata wanita bernama Mery itu dengan nyaring.

"Ya karena Jo cintanya sama dia," jawab Jo tak kalah nyaring.

"Jo udah jalan setengah tahun pacaran sama dia. Tinggal nunggu restu Papa dan Mama, Jo bisa nikah sama dia."

"Joan." Pak Bondan kembali bersuara.

"Papa gak mau tau, kamu harus menikah dengan Nayra. Papa kasih kamu waktu berpikir selama seminggu. Selama itu, Papa harap kamu juga mulai sadar jika Mega bukan perempuan yang baik untukmu."

"Terserah. Pokoknya Jo gak akan pernah menikah dengan Nayra. Titik."

Setelah mengatakan itu Joan langsung beranjak dari ruang tamu meninggalkan kedua orang tuanya yang hanya bisa menghembuskan nafas melihat sikap anaknya.

"Gak papa, Pa. InsyaAllah, Allah berikan yang terbaik untuk kita, untuk Joan juga. Mama yakin, melalui Nayra, Jo akan perlahan berubah."

"Kita berdoa dulu, Ma. Semoga Jo mau menerima dan semoga Pak Rahmat juga bersedia menerima lamaran kita."

**

Pria yang tidak lagi muda itu tersenyum menatap putri sulungnya yang nampak bersemangat berkutat di dapur bersama istrinya.

Nayra Az-Zahra nama lengkapnya. Gadis berusia dua puluh lima tahun yang begitu cantik baik rupa dan akhlaknya. Sayangnya, gadis itu kerap dipandang sebelah mata oleh beberapa orang karena tidak bisa berjalan dengan sempurna. Namun, bagi Rahmat, sang ayah, gadis itu tetaplah kebanggaannya.

"Ayah kok senyum-senyum gitu? Kesambet loh, nanti."

Pak Rahmat menatap laki-laki yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya, dialah Robin, anak keduanya yang baru saja masuk ke salah satu universitas ternama di kotanya.

"Apaan, sih kamu. Ayah lagi lihatin Bunda sama kakakmu, Bin."

"Tapi gak pakek senyum juga, Yah."

"Ya terserah Ayah, lah. Orang mereka istri dan anak Ayah."

Robin mencibik. "Serah deh."

"Oh iya, Bin."

Pak Rahmat merangkul bahu Robin membuat pemuda itu menatap ayahnya.

"Kamu inget Pak Bondan, gak?" bisiknya.

"Pak Bondan?" Dahi Robin mengkerut mencoba mengingat orang dengan nama itu.

Restart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang