7. Maaf

60 4 0
                                    

"Kata maaf bisa menjadi awal untuk kita memulai dan memperbaiki semuanya."
-Revano Alkan pradipta

****

Hari ini Revan sedang berada di taman belakang rumahnya. Taman itu banyak ditumbuhi dengan berbagai macam bunga, salah satunya mawar merah yang sengaja Revan tanam sendiri. Ya, selain suka hujan Revan juga suka bunga mawar, entah apa alasan laki-laki itu menyukainya.

Revan pernah membaca salah satu artikel yang menerangkan jika seorang laki-laki menyukai bunga mawar, itu menandakan bahwa laki-laki tersebut memiliki sisi romantis terhadap pasangannya. Namun Revan merasa fakta itu seakan tak berlaku untuknya. Revan rasa kata romantis itu tak melekat sedikit pun padanya. Ia bukan laki-laki romantis terhadap sang kekasih.

Revan duduk di kursi panjang taman berwarna putih, dengan sebuah gitar di pangkuannya. Di minggu pagi yang cerah, saat burung-burung tengah berkicau, Revan memetik gitar mengalunkan suara indahnya. Menyanyikan lagu yang menurutnya sangat mewakili isi hati.

Saat tengah asyik bernyanyi tiba-tiba suara seseorang mengintruksi dirinya. "Woy. Lagi galau ya?" Ucapnya sambil menepuk bahu Revan dan ikut duduk di sampingnya.

"Abang ngapain disini?" Bukannya menjawab Revan malah balik bertanya pada orang yang ia sebut abang itu. Dia adalah Gara, anak sulung mama. Masih ingatkan?

"Kenapa? Gak boleh emangnya? Rumah ini kan masih rumah abang juga."

"Bukan gitu. Aku cuman syok aja tiba-tiba abang ada disini."

"Abang kangen sama mama. Sekalian liburan sih sebenernya. Abang lagi cuti nih. Ya udah dari pada liburan jauh-jauh mending pulang aja kesini." Jelas Gara.

"Kak Sera sama Daffin ikut?" Revan menanyakan istri dan juga anak dari bang Gara.

"Ikutlah. Daffin lagi main sama Ara." Revan bergumam menanggapinya. Gara menatap sekeliling taman dengan tatapan takjub. Ia melihat penampakan taman belakang rumahnya yang sekarang lebih rapi dan didominasi dengan bunga mawar merah. Gara memang sudah mengetahui jika adiknya ini sangat menyukai bunga mawar.

"Makin rajin aja kamu nanam bunga mawar. Sampe sebanyak ini." Kagumnya tanpa henti menatap sekitar.

Revan tersenyum. "Namanya juga suka bang." Jawab Revan acuh.

"Oh ya, gimana sekolah kamu?"

"Baik."

"Abang denger dari mama, katanya semalam kamu demam."

"Iya. Udah enggak kok sekarang mah," Jawab Revan sambil sesekali memetik senar gitar asal.

"Re?"

"Iya"

"Kamu gak kangen gitu sama abang? Gak mau gitu peluk abang. Udah lama loh kita gak ketemu." Gara sedikit menyindir. Dengan pelan tapi pasti Revan meletakkan gitar dari pangkuannya dan tanpa mengatakan apapun laki-laki itu menghambur memeluk Gara abangnya.

"Kangen lah bang. Siapa bilang aku gak kangen," Ucapnya dalam pelukan Gara.

Gara menepuk-nepuk punggung Revan. "Kamu udah gede sekarang. Bahkan badan kamu hampir sama dengan badan abang," Ucap Gara sambil terkekeh.

Revan melepas pelukannya. "Bang aku kangen ayah," Ucapnya tiba-tiba. Ya sudah beberapa hari ini ia selalu di bayang-bayangi sosok ayah. Sungguh Revan sangat merindukannya. Ia ingin memeluknya. Dan mengatakan segala hal padanya.

Gara terdiam menatap wajah Revan yang sendu. Wajah itu benar-benar mengisyaratkan kerinduan yang teramat dalam. Gara merasa sesak melihatnya dan ia juga merasakan apa yang Revan rasakan saat ini. "Sama. Abang juga kangen ayah. Tapi gak ada gunanya sekarang kita sedih ataupun nangis meratapi kepergian Ayah. Itu cuman bakalan bikin Ayah sedih, harusnya kalo kita memang sayang sama Ayah kita doain dia, ziarah ke makamnya. Dan kita harus ingat Ayah pernah berpesan pada kita buat selalu jagain mama sama Ara." Revan mengangguk lesu. Yang diberi usapan lembut di bahunya oleh Gara.

Garis Takdir || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang