29. kembali?

40 3 0
                                    

"Definisi bahagia untuk setiap orang itu jelas berbeda-beda. Namun aku ingin mengucapkan kata terima kasih untuk kamu yang sudah mengajarkanku tanpa lelah, bahwa kebahagiaan itu adalah kemampuan mental yang bisa dipelajari, bukan dihasilkan dari faktor eksternal. Salah satunya adalah ketenangan menghadapi seisi dunia apapun yang terjadi. Dan kamu selalu bilang jika bahagia itu diciptakan bukan diberikan."
-Rania Shanika Queensha

****

Di bawah langit yang nampak cerah, Rania tengah duduk di kursi panjang taman. Hari ini ia mengunjungi salah satu tempat yang pernah ia kunjungi bersama Revan. Sebuah taman indah dengan banyaknya bunga mawar merah yang mendominasi. Pengunjung taman sangat ramai hari ini mulai dari anak-anak, orang tua, remaja atau ada juga yang membawa pasangannya. Mereka tampak bahagia dan ceria Berbeda dengan Rania yang hanya duduk sendirian dengan berlinang air mata.

Rania menatap kosong ke depan dengan air mata yang terus membasahi pipinya. Ia menangis tanpa suara. Lagi-lagi bayangan tentang sosok yang dirindukan nya kembali hadir menguasai pikirannya.

Dalam diamnya itu ada sorak yang ingin diteriakkan akan rindu yang mendera, bayang yang merajalela, dan luka yang menganga parah. Kini senyum di bibirnya tak ada lagi seakan menghilang bersama orang yang kini pergi meninggalkannya.

Rania menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Membiarkan dirinya menangis sepuasnya hari ini. Biarkan saja orang memperhatikan dirinya dengan sorot penuh tanya. Ia tak akan mempedulikannya.

Rania hanya ingin meluapkan segala kesedihannya. Membiarkan air mata itu meluncur lebih deras lagi. Dan kalau pun air mata ini harus dihapus, maka hanya Revan lah yang berhak melakukannya.

"Ran?" Panggil seseorang. Rania merasakan jika kini orang itu tengah duduk di sampingnya.

Rania tak menjawab ia malah semakin menangis hingga bahunya bergetar kuat.

"Rania, udah jangan nangis terus dong. Sini liat aku. Ayo lepas tangannya dari wajah kamu," Ucap orang itu yang dengan perlahan melepaskan telapak tangan Rania dari wajahnya. Rania menurut dan betapa terkejut nya ia ketika melihat siapa orang yang ada di hadapannya kini. Jika ini hanya mimpi Rania mohon jangan ada yang membangunkannya dulu.

"Revan? Kamu Revan? Ini beneran kamu?" Tanya Rania ketika membuka telapak tangannya dan melihat sosok yang sangat ia rindukan. Revan dapat melihat bagaimana wajah gadis itu sekarang, matanya sembab, hidungnya merah, bibirnya pucat.

Revan mengangguk. "Iya. Ini aku." Suara berat itulah yang Rania sangat rindukan. Tanpa menunggu lama lantas Rania berhambur ke pelukannya. Biarkan saja orang-orang menatapnya tak suka. Yang jelas ia hanya ingin meluapkan kerinduannya saat ini.

"Aku kangen sama kamu Re, kamu kemana aja? Kenapa kamu ninggalin aku?" Lagi-lagi tangis itu tak terelakkan lagi. Rasa rindunya sudah terlalu mendalam. Revan melepaskan pelukannya kemudian menghapus air mata Rania dengan ibu jarinya.

"Aku gak kemana-mana kok."

"Bohong. Buktinya kamu ninggalin aku. Aku cariin kamu kemana-mana, ke rumah kamu, ke tempat-tempat favorit kamu juga gak ada Re,"

Revan menyelipkan rambut Rania ke belang telinganya. "Aku gak ke mana-mana sayang. Buktinya sekarang aku ada di samping kamu."

"Kamu janjikan gak bakalan pergi lagi?" Tanya Rania. Namun Revan hanya diam tak menanggapi. Membuat Rania merasakan sesak dihatinya.

"Ran aku sayang sama kamu." Revan menatap Rania yang kini kembali menangis.

"Aku juga sayang sama kamu Re,"

"Aku mohon sama kamu jangan nangis lagi. Jangan buat aku ngerasa bersalah. Yang pengen aku liat dari kamu itu ya senyuman kamu. Bukan tangisan kamu Ran." Revan dengan telaten menghapus kembali air mata itu bagaikan hujan yang begitu deras.

"Aku bakalan berhenti nangis kalo kamu gak pergi lagi, kamu ada terus di samping aku. Melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan dulu Re. Berangkat dan pulang sekolah bareng, Jalan-jalan bareng di Braga, duduk-duduk di taman, liat langit malam dari roof top, makan nasi goreng pak junet dan banyak hal lainnya yang bisa kita lakukan berdua. kamu mau kan?" Rania tersenyum getir.

"Maaf tapi kita...."

"Kenapa Re? Kamu gak mau? Emangnya apa alasannya? Bukannya kamu sendiri yang janji buat selalu ada buat aku?" Potong Rania.

"Sekarang kita udah beda Ran."

"Beda? Maksud kamu apa?"

"Takdir. Kamu harus ikhlas ya lepasin aku." Tak terasa Revan juga ikut menitihkan air matanya.

"Enggak. Kamu harus tetap disini. Emangnya kamu gak mau ya pacaran lagi sama aku? Aku ngebosenin ya? Aku nyebelin ya? Kalo iya, aku minta maaf Re. Aku janji deh mulai sekarang bakalan berusaha jadi pacar yang baik buat kamu. Oke?" Rania terus mendesak Revan.

"Maaf." Hanya kata itu yang Rania dengar dari mulut orang yang kini menatap nya sendu.

"Kenapa sih? Aku sayang sama kamu Revano. Kenapa ketika aku mau memperbaiki semuanya kamu malah pengen pergi ninggalin aku. Aku gak bisa sendirian." Rania memeluk Revan lagi ia menangis di dada bidang laki-laki itu.

"Aku juga sebenarnya gak mau Ran tapi...."

"Tapi apa?"

"Ini udah takdir. Kita gak bisa menyalahi siapapun dalam hal ini. Mungkin udah jalan kita berdua seperti ini. Dan aku bersyukur pernah mencintai dan dicintai kamu. Makasih kehadiran kamu di hidup aku membuat aku mengerti gimana rasanya bahagia yang sebenarnya. Walaupun hanya sebentar waktu yang kita punya tapi aku senang karena punya kenangan manis dan indah sama kamu. Aku sayang sama kamu Ran. Dan Kalo kamu sayang sama aku juga, aku mohon kamu jangan tangisin aku kayak gini lagi, jangan membuat aku semakin berat buat pergi Ran. Ikhlasin aku. Dan aku yakin kamu akan baik-baik aja tanpa aku. " Revan merasakan jika Rania kini tengah menggelengkan kepalanya. Namun Revan justru melepaskan pelukan itu meski Rania malah semakin mengeratkan nya. "Aku mohon Ran, udah ya." Dengan perlahan Rania ikut melepaskan peluk itu.

"Jangan tinggalin aku Re, aku mohon jangan pergi...." Rania semakin terisak kala Revan mulai beranjak dari duduknya. Membuat Rania dengan cepat meraih tangan Revan. Meski perlahan Revan berusaha melepaskan nya.

"Kamu harus bisa menjalani hidup kamu seperti biasanya, yang kini tanpa kehadiran aku aku disisi kamu."

"Engga. Aku mohon jangan pergi Revan."

"Aku sayang kamu Ran, kamu harus bahagia meskipun tanpa aku." Tangan itu terlepas begitu saja seiting dengan Revan yang kini hilang ditelan cahaya yang begitu terang dan membuat mata siapapun yang melihat nya akan merasakan silau di matanya.

"Revan...."

"REVANO...."

Rania terbangun dengan nafas tersengal, ia melihat jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 2 lewat 15 menit. Rania berusaha menetralkan detak jantungnya saat ini. Rania baru saja terbangun dari sebuah mimpi dimana ia bertemu Revan di sana.

"Re... Aku kangen...." Gumam Rania. Kemudian ia mendudukkan dirinya seraya memeluk tubuhnya sendiri.

"Ternyata kamu beneran pergi ninggalin aku." Rania kembali terisak.

"Aku pengen peluk kamu lebih lama lagi, kamu tahu gak sih aku kangen banget sama kamu."

Tangis itu malah semakin menjadi. Bahu Rania bergetar hebat. Lagi-lagi itu hanyalah sebuah mimpi. Dan ia kembali ke dunia nyata dimana tidak ada lagi Revan disini.

Rania menyingkap sedikit baju tidur biru muda yang tengah dikenakannya. Ia menatap nanar bekas luka sepanjang 15 Sentimeter di pinggang kanannya. Dimana luka itu masih terlihat sangat jelas. Sudah dipastikan kini didalam tubuhnya ada bagian tubuh Revan juga. Satu ginjal yang pernah didonorkan Revan untuk nya.

"Makasih Re, kamu udah berkorban banyak buat aku. Aku sayang kamu. Maaf kalo aku belum jadi pacar yang baik buat kamu. Aku janji sama kamu akan jaga diri aku baik-baik seperti apa yang kamu minta. Dan aku gak bakalan sia-sia in pengorbanan kamu. Aku bakalan jaga kesehatan aku. Meski pun rasanya sangat berat menjalani hidup tanpa kamu." Meski berusaha untuk tersenyum, tapi air mata itu justru lolos dari mata indah Rania. Turun membasahi pipinya, sangat deras layaknya hujan yang tengah mengguyur bumi.

Kini rindu tinggal lah rindu, penyesalan pun sudah tidak berguna lagi. Karena nyatanya rindu itu bukan masalah jarak, bukan pula perihal waktu, begitu kamu hilang dari pandangan mata, maka itulah rindu yang sesungguhnya.


Garis Takdir || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang