"Aku pernah dengar, katanya hujan itu mampu mengantarkan rindu, tapi nyatanya hujan adalah kiasan palsu yang menjelma kan pilunya sendu. Dan hingga kini rindu itu masih tertampung didalam hati dan entah kapan dan dengan cara apa untuk melampiaskan rasa rindu ini yang semakin mendalam."
-Rania Shanika Queensha****
Malam ini Bandung di guyur hujan yang sangat deras. Sepi dan hampa itulah yang selalu Rania rasakan di setiap malamnya. Rania memang tidak suka hujan tapi jika Revan menyukainya mulai sekarang ia akan menyukainya juga.
Dimalam yang sepi ini Rania menatap jendela kamarnya yang terbuka menampilkan bagaimana derasnya hujan disertai angin yang cukup kencang.
Rania tidak menyukai hujan karena menurutnya hujan selalu identik dengan kegalauan dan kesedihan yang mendalam. Begitu pula seperti yang tengah ia rasakan saat ini.
Rania bersandar pada kursi yang ada di sana. Air matanya jatuh bersamaan dengan padamnya api pada sebuah lilin angka 2 pada kue tart yang bertuliskan 'Happy anniversary' dihadapannya. Tepat malam ini adalah hari anniversary nya bersama Revan yang ke 2. Bahkan tadi siang ia sudah membuat kue setelah beberapa minggu lalu ia belajar membuatnya dengan bantuan sebuah buku yang ia beli bersama Revan.
Berharap Revan adalah orang pertama yang akan mencoba kue buatannya sendiri. Namun Tuhan berkehendak lain. Kini ia hanya merayakannya sendirian.
"Happy anniversary Revan pacarnya Rania. Makasih ya kamu udah menemani aku sampe sejauh ini, makasih kamu udah ngasih aku kenangan yang pastinya akan sulit dilupakan, makasih kamu selalu sabar dan peduli sama aku. Dan terimakasih kamu udah membuat aku mengerti, jika sakit yang teramat sangat membuat kita belajar arti dari mengikhlaskan, dan memudahkan ku melupakan hal yang sulit dilupakan. Meski pada akhirnya ternyata kita tidak di izinkan untuk bersama lebih lama lagi."
"Aku sayang banget sama kamu Re."
"I love you." Rania menatap lurus ke depan pada rintik hujan yang terus membasahi bumi. Tangisnya tak terbendung lagi selaras dengan turunnya hujan yang semakin deras pula.
"Begini ya Re rasanya merayakan hari bahagia sendirian," Ujar Rania tersenyum getir. Ia mengingat bagaimana Revan merayakan anniversary mereka tahun lalu dan Rania tidak datang.
"Aku kangen kamu Re, aku harap kamu sekarang ada di samping aku, rayain hari bahagia kita berdua, potong kue dan makan bereng-bareng."
"Kamu tahu aku sekarang udah bisa bikin kue sendiri loh. Dan waktu itu aku bilang kan kalo kamu harus jadi orang pertama yang cobain kue buatan aku. Tapi nyatanya itu hanya tinggal angan semata."
"Sekarang kabar kamu gimana Re? Baik-baik aja kan? Kalo jawabannya iya. Aku pasti seneng banget. Karena di sini aku gak pernah baik-baik aja setelah kamu pergi."
"Kamu tahu, malam ini bumi diguyur hujan. Iya hujan. Hal yang kamu suka kan? Aku harap sekarang kamu juga ada di samping aku, menikmati hujan berdua kayak waktu itu," Ucapnya.
"Aku pengen peluk kamu Re...." Rania menangis hingga sesegukan. Ia memeluk dirinya sendiri saat ini.
"Aku harus apa supaya kamu balik lagi?"
"Atau kamu marah ya sama aku, sampe kamu ninggalin aku kayak gini? Jadi kamu lagi menghukum aku ya sekarang?" Rania terus berbicara pada dirinya sendiri dengan tangannya yang mulai menarik rambutnya frustasi.
"Revan... Aku kangen..."
Tiba-tiba Rania menghapus air matanya kasar. Kemudian ia mendudukan dirinya dilantai dingin kamarnya. Rania menarik salah satu laci meja belajarnya. Kemudian meraih sebuah cutter kecil dari sana.
"Tapi sepertinya sebentar lagi rasa kangen aku akan terbalaskan, dan sebentar lagi aku pasti bisa nyusul kamu Re," Rania tersenyum bangga. Meski dengan tangis yang terus membasahi pipi mulusnya. Kemudian Rania mengarahkan cutter tajam itu pada pergelangan tangan lebih tepatnya pada urat nadinya.
"Selamat tinggal dunia," Ucapnya sebelum seseorang dengan kasar menarik cutter itu dari tangannya dan meleparkannya keatas lantai. Tanpa ragu lantas membawa Rania ke dalam pelukannya. Hingga tangis itu semakin menjadi.
"Jangan gila kamu Rania," Ucapnya sambil mengelus bahu Rania yang bergetar hebat. Ternyata itu adalah Jihan. Mama Rania yang baru saja akan masuk kamarnya untuk mengecek keadaannya dan benar saja gadis itu akan melakukan hal yang tak di inginkan.
"Rania kangen Revan ma...." Lirihnya.
"Mama tahu. Mama paham. Gak mudah untuk melepaskan orang yang kita sayang. Gak mudah mengikhlaskan kepergian orang yang kita cintai. Mama ngerti gimana perasaan kamu sekarang sayang. Tapi kamu gak boleh putus asa kayak gini. Dan asal kamu Revan pasti sedih lihat kamu kayak gini. Apalagi sampai mau coba bunuh diri." Jihan semakin mengeratkan pelukannya.
"Rania cuman pengen Revan ada di sini ma."
"Kamu harus bisa belajar menerima takdir Ran," Jihan merasakan Rania menggeleng dalam pelukannya.
"Kalo kamu kayak gini terus, kamu pikir Revan tenang di sana? Udah Ran, kasian dia." Jihan ikut menitihkan air matanya melihat anak semata wayangnya yang kini terluka dan merasakan duka yang begitu mendalam.
Dan kini rasa sakit semakin menguasai diri, sedih dan pilu yang mendalam juga semakin menghujam hati. Jika saat ini kamu tengah melihatku, aku harap kamu juga ikut memeluk ku seperti dulu yang kamu lakukan padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir || End
Teen Fiction~Garis Takdir Di pertemukan dan dipisahkan oleh takdir. Tapi bisakah aku meminta pada Tuhan untuk menghapus takdir perpisahan agar kita berdua selalu bersama tanpa adanya kata menyakitkan bernama kehilangan.