24. Tentang kamu

40 4 0
                                    

🎶

Kuingin saat ini engkau ada di sini
Tertawa bersamaku seperti dulu lagi
Walau hanya sebentar, Tuhan, tolong kabulkanlah
Bukannya diri ini tak terima kenyataan
Hati ini hanya rindu

-Hanya Rindu-

****

Malam ini di kediaman rumah duka baru saja mengadakan acara tahlilan untuk mendoakan Revan agar tenang di alam sana. Kini rumah kembali sepi setelah beberapa jam lalu ramai karena banyak orang yang berdatangan untuk ikut mendoakan.

Hening. Itulah kondisi rumah saat ini. Ini adalah malam pertama tanpa kehadiran Revano. Bahkan diruang keluarga tak ada siapapun karena setelah acara selesai, mama langsung masuk kamar dan tak keluar lagi, bang Gara juga sama apalagi Daffin yang terus menangis dan rewel, anak kecil itu seperti tengah merasakan kehilangan yang sama.

Dan Kini suara Revan tak lagi menghiasi rumah, senyum penuh kehangatan kini tak lagi ada, tawa penuh kebahagiaan juga ikut pergi bersamanya.

Dan hal yang tak jauh berbeda kini dirasakan Ara. Gadis itu tengah duduk di balkon kamarnya dengan tangan yang memeluk sebuah bingkai foto.

Ara menatap foto yang berada di kedua tangannya. Itu adalah foto Revan dan dirinya ketika masih kecil. Foto yang menampilkan dua anak kecil sekitar 5 tahun dan 6 tahun yang sedang bergandengan tangan dan tersenyum kearah kamera. "Abang aku kangen banget sama Abang. Maafin aku ya, aku sering bikin abang kesel sama aku. Maaf kalo selama ini aku belum jadi adik yang baik buat abang."

"Makasih ya udah jagain aku, sayang sama aku. Walaupun abang keliatannya cuek dan bodoamat sama aku. Tapi aku tahu, sebenarnya abang peduli sama aku. Kalo abang gak peduli sama aku ngapain abang bela-belain buat ngehajar Rendi. Yang udah selingkuhin aku." Ara tersenyum getir mengingat ketika abangnya mati-matian untuk membela dirinya. Kini air mata itu jatuh tepat di atas foto Revan yang ada didalam bingkai foto.

"Sekarang siapa yang bakalan jagain aku kalo misalnya ada yang jahatin aku di sekolah? Sekarang siapa yang bakalan bawelin aku kalo aku masih ada di rumah temen, sekarang kalo aku mau curhat tentang cowok, aku curhatnya ke siapa bang?" Tanya Ara sambil mengelus foto Revan.

"Aku pikir doa itu gak bakalan terkabul bang. Karena bukan ini maksud dari doa aku dihari ulang tahun abang. Aku cuman minta supaya abang gak nyebelin lagi, gak bikin aku kesel lagi, gak jahilin aku lagi, gak nyuruh-nyuruh aku lagi... Tapi bukan kayak gini maksudnya. Bukan sampe abang pergi buat selamanya. Kalo kayak gini aku rela kok di suruh-suruh abang tiap hari, jadi korban dari kejahilan abang juga gak pa-pa, bikin aku kesel tiap waktu juga aku ikhlas. Asal abang balik lagi ke sini."

"Abang harus liat mama, aku, bang Gara, kak Sera, kak Rania, teman-teman abang dan semua orang yang sayang sama abang sedih karena kepergian abang."

"Aku kangen banget ... Bang...."

****

Rania baru saja sampai di rumahnya setelah mengikuti acara tahlilan di rumah Revan. Ia tak hentinya menangis hingga saat ini ia meringkuk di atas kasur. Air mata itu meluncur begitu saja bagaikan air hujan yang mengalir deras.

Rania merasakan perutnya yang begitu sakit karena memang seharian ini ia belum makan. Padahal kak Sera sudah memaksa dirinya untuk makan tadi. Tapi dengan ramah Rania mencoba menolaknya. Rasanya nafsu makannya hilang begitu saja.

Dengan air mata yang masih meluncur deras, Rania meraih jaket yang ia letakkan diatas kasurnya. Itu adalah jaket Revan, jaket yang waktu itu Revan pinjamkan karena hujan. Tapi Rania belum mengembalikan nya. Rania memeluk jaket itu erat.

"Re? Aku kangen," Lirihnya.

"Kamu nggak sayang ya sama aku? Sampe kamu pergi gitu aja?"

"Katanya kamu mau menua bareng sama aku. Nyatanya kamu malah pergi sebelum janji itu kamu tepati."

"Katanya kamu mau terus ada di samping aku. Tapi kamu sendiri yang ternyata pergi ninggalin aku."

Kemudian Rania mengambil bingkai foto yang Revan berikan tempo hari untuknya. "Jadi ini maksud kamu kasih aku foto kamu. Supaya kalo aku kangen tinggal liat foto kamu. Tapi asal kamu tahu itu gak cukup Re meluapkan rasa kangen aku sama kamu. Aku pengen peluk kamu Revano." Rania mencium foto yang ada dibingkai itu kemudian membawanya kedalam pelukan.

Rania memejamkan matanya dan tiba-tiba saja ia mendengar kembali ucapan Revan tepat dihari laki-laki itu kecelakaan.

"Aku pergi ya, jangan nangis. Kalo kamu kangen liat aja fotoku. Terus kalo nanti pengen peluk panggil aja nama aku,"

"Ini pergi yang kamu maksud Revan? Ini kangen yang kamu isyaratkan? Ini peluk yang kamu bilang waktu itu?"

Rania tak menyangka jika ucapan Revan sore itu adalah ucapan pamitnya untuk pergi selama-lamanya. Jika Rania tahu akan seperti ini jadinya, ia akan lebih lama menghabiskan waktu bersama Revan, ia akan lebih lama bersama laki-laki itu untuk hanya sekedar memeluknya dan membisikkan kata cinta untuknya.

Karena pada akhirnya tangan itu sudah tak bisa digenggam, bahu itu sudah tak bisa untuk dijadikan sandaran, tubuh itu sudah tak bisa dipeluk, senyum itu sudah tak bisa dilihat. Karena Revano kini sudah pergi dan tak akan pernah kembali. Kini rindu akan terus tertampung tanpa batas dan tanpa adanya pertemuan untuk menyalurkan nya. Kini rasa ingin memeluk akan terus tertumpuk dan hanya bisa disuarakan tanpa pertemuan yang pasti.

Segala kenangan yang pernah diciptakan akan terus teringat dan tersimpan rapi dalam ingatan.

Selamat jalan Revano. Laki-laki ceria penuh kebaikan.

Garis Takdir || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang