Dengan wajah kesal, Namsoo melangkah menuju sebuah ruangan dengan petunjuk ‘sajangnim’ di atas pintu. Ia lantas membuka pintu tanpa mengetuk. Namun, ia tetap membungkukan tubuh di hadapan pemilik dari agensi yang menaunginya.
"Namsoo? Tumben sekali kau mampir ke ruangan ini," ujar pria paruh baya yang kini duduk di meja kerjanya.
"Bagaimana kau mengambil keputusan tanpa pendapat kami? Ini soal Eunoia dan seharusnya, kami berenam dilibatkan."
Jung Myungso—sang pemilik agensi, hanya tersenyum sembari beranjak dari kursi kebesarannya. Ia menghampiri Namsoo kemudian menepuk bahunya dengan senyum ejekan. "Sejak kapan?"
Namsoo mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan gejolak kemarahan yang bisa saja ia luapkan saat ini juga. Namun, ia merasa itu bukan hal tepat. Apalagi, bisa dibilang Eunoia merupakan anak tiri dalam agensi itu. Berbeda dari Sirius, girlgrup yang juga debut di bawah agensi yang sama dengan mereka. Bahkan, agensi tak turut campur soal naiknya popularitas saat ini karena tak pernah melakukan promosi sebagus Sirius. Jika Namsoo meluapkan kemarahannya, tentu akan berpengaruh pada karier Eunoia selanjutnya.
Namsoo sudah cukup bersabar. Namun, rasanya ia sudah tak tahan dengan tingkah agensi. Jika bukan karena penasaran soal seberapa lama mereka akan menduduki kursi boygrup populer, ia takkan sampai memohon dan berlutut agar anggota Eunoia memperbarui kontrak meski hanya untuk 3 tahun ke depan.
"Namsoo-ya, kau seharusnya tahu posisi Eunoia. Aku pasti akan melibatkan kalian jika salah satu atau kalian semua memang memiliki saham di sini. Lagi pula, penambahan anggota membuat Eunoia semakin dibicarakan. Bukankah ini yang kauinginkan?"
Namsoo bukan ingin nama grupnya dikenal karena hal tak penting. Ia ingin Eunoia dibicarakan karena prestasi atau bakat mereka. Namun, banyak orang memandang mereka sebelah mata. Bahkan, tak sedikit yang meminta mereka untuk membubarkan diri. Ia merasa bersyukur karena keadaannya mulai berbalik sekarang. Selama 6 bulan ke belakang, banyak orang mulai tertarik pada mereka kemudian masuk ke dalam fandom mereka dan memberi dukungan lewat pembelian album fisik juga digital.
Namsoo masih ingat jelas bagaimana mereka diperlakukan dalam acara musik tiap kali melakukan promosi bersama Beyonds. Bahkan, tak jarang mereka tak dapat ruang tunggu dan harus menggunakan mobil sebagai tempat istirahat.
"Namsoo-ya, dengan enam atau tujuh orang, bukankah sama saja? Lagi pula, Minhyun cocok untuk melengkapi kalian berenam sebagai visual. Sudahlah, jangan memperpanjang masalahnya, toh nama kalian semakin melejit sekarang." Myungso mendekatkan wajah di telinga Namsoo. Kemudian, ia berbisik, "Dia trainee populer setelah ikut dalam acara survival Your Boy. Itu akan menguntungkan untuk kalian."
Namsoo yakin, ada campur tangan agensi dalam kegagalan Minhyun dalam acara survival itu. Ia pernah menonton acara itu saat liburan dan mustahil jika Minhyun tak debut. Minhyun selalu mendapat peringkat setidaknya 2 atau 1. Namun, saat pengumuman line-up, Minhyun justru tak termasuk dan berada di peringkat 10 yang artinya jauh dari peringkat line-up debut. Inilah yang sangat tidak ia sukai dari industri tempatnya bekerja. Semuanya terlalu kotor.
"Apa kau akan terus berdiri di sini?" Myungso kembali duduk di kursinya. "Kalian pindah asrama hari ini karena tidak mungkin berada di asrama itu dengan penambahan anggota. Kau harus mulai berkemas."
"Sabar, Namsoo, sejak awal memang seperti ini." Namsoo membatin. Ia memilih mengembuskan napas kemudian berlalu sebelum kemarahannya semakin memuncak.
🍀🍀🍀
Ketujuh pria tampan itu duduk di sofa. Mereka nampak serius memainkan sebuah permainan meski masih banyak yang harus mereka bereskan karena baru saja pindah. Namun, mereka justru asyik memainkan jenga untuk menentukan kamar.
Di asrama yang baru ada 3 kamar. Namun, hanya satu kamar yang besar juga cukup nyaman karena terdapat jendela besar yang mengarah langsung ke jalanan. Itulah sebabnya, mereka berlomba untuk mendapat keberuntungan dan tidur di sana.
"Aku saja, Hyung. Apa kalian tidak menyayangiku lagi?" Senjata andalan Jungkook memang seperti itu. Menanyakan soal kasih sayang. Namun, itu selalu berhasil. Bahkan, dengan mudah Hoonie mempersilahkannya.
"Artinya kau akan menempati kamar itu bertiga." Hoonie mengembuskan napas lega setelah berhasil mengambil salah satu balok tanpa meruntuhkan tumpukan itu. Senyum kemenangan terpancar, membuat anggota lain menghela napas. Namun, selanjutnya ia justru mengerutkan dahi. "Tunggu, dibanding seperti ini, lebih baik kita suit. Kita hanya membuang waktu dengan ini sementara kita harus merakit barang-barang yang ada. Besok kita juga harus bangun pagi untuk latihan sekali lagi lalu syuting."
"Benar juga. Kenapa tidak dari tadi? Hyung, kau sungguh membuatku memainkannya sampai akhir," kesal Taegyu. Pria dengan kaus panjang belang-belang itu lantas beranjak, menghampiri sebuah kardus berisi meja. Ia akan merakit yang paling sederhana sebelum yang lain memilihnya.
"Aku bisa merakit yang rumit. Apa yang harus kurakit?" tanya Minhyun sembari mengangkat tangan. Ia memang masih canggung berada dalam grup itu. Namun, setelah latihan tadi, kecanggungannya sedikit berkurang.
"Baiklah, kau bisa merakit lemari atau rak. Aku dan Aciel akan mera—"
"Andwae, Hyung!" sela Jungkook sembari memeluk boneka kesayangannya. "Kau akan membuat masalah jika merakitnya. Aku saja dengan Aciel Hyung."
Hoonie menahan tawa. Tentu saja jika Namsoo yang mengerjakan, malah akan berakhir kacau. "Jung benar. Lebih baik kau diam saja atau pel ruangan yang kotor."
"Ani, Hyung, Namsoo Hyung tetap akan membuat gagang pelnya patah," ujar Jungkook sembari merebut alat pel itu meski masih memeluk boneka
"Jung, sekali lagi kau bicara, aku akan menyumpalmu."
Pertangkaran mereka harus berhenti bahkan sebelum dimulai saat Hyunjo masuk. Manajernya menunjukkan ponsel Jungkook yang menyala pertanda sebuah telepon masuk. Tentu, dengan cepat Jungkook mengambilnya, berjalan menuju sebuah ruangan agar tak terdengar.
"Nah, karena Hyung ada di sini, bantu kami, ya." Taegyu memeluk erat lengan sang manajer. Ia takkan melepasnya sebelum lelaki itu membantu mereka.
"Aish, baiklah. Apa yang harus kulakukan?"
Sementara, Jungkook masih waspada. Ia kemudian mengangkat telepon tersebut saat ruang tengah mulai berisik karena mereka harus merakit furnitur yang ada. Ini tentu menjadi keuntungan untuknya. Jadi, takkan ada yang mendengarnya. Untungnya, sebelum mengumpulkan ponsel, ia sempat menyimpan nomor gadis itu dengan ‘Ibu’ Jadi, sang manajer menganggap telepon itu penting.
"Yeobseyo?"
🍀🍀🍀
Suara itu membuat degup jantungnya semakin kencang. Ia masih terdiam. Lidahnya seakan kelu bersamaan dengan kenangan buruk soal malam itu yang mulai merasuk pikirannya.
"Aku ingin bertemu." Kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutnya. Padahal, hatinya sudah penuh dengan segala umpatan yang cocok untuk lelaki berengsek seperti Jungkook.
"Alamatku sudah berubah. Aku akan mengirimkannya nanti. Kau … Tidak akan bicara soal itu pada siapa pun ‘kan?"
Joohee berdecih. Ternyata benar, lelaki itu sangat mengagungkan reputasinya. "Aku tidak akan buka suara, jika kau tidak macam-macam. Tak peduli seberapa banyak orang yang menyukaimu, aku akan tetap membencimu. Kau pria berengsek yang merusak masa depanku."
"Kalau begitu, kenapa tidak meminum pil pengendali kehamilan?"
Joohee hampir saja mengumpat. Namun, dia menahannya sebisa mungkin. "Aku tetap perlu menemuimu."
"Kau memang berengsek, Jung," batin Joohee.
"Ah … Apa kau akan menuntutku demi uang karena pernah melakukannya padamu? Nona, aku juga tidak akan tinggal diam jika kau berani buka suara."
🍀🍀🍀🍀🍀
31 Okt 2021
Republish : 8 Sep 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Stage✓
Fanfiction[Sebelumnya berjudul Constellation] Sebuah insiden, membuat takdir Jungkook juga Joohee terhubung secara tak sengaja. Sebuah penolakan, tentu membuat Joohee marah besar dan berusaha keras untuk menjatuhkan karier lelaki berengsek itu. Hingga akhirny...