Tiba waktu keberangkatan Mentari ke Jerman. Malam ini Mentari gelisah dan tidak bisa tidur. Sudah lama dia tidak bertegur sapa dengan Bumi. Besok dirinya akan ke Jerman. Mentari ingin bertemu Bumi sebelum berpisah lama. Dia sudah mengirim pesan bahwa dirinya akan berangkat besok. Tetapi lelaki itu tidak membalas pesannya. Sepertinya Bumi benar-benar tidak menginginkan Mentari. Malam ini gadis itu amat sedih.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tetapi tidak ada keinginan Mentari untuk beranjak dari balkon kamarnya. Gadis itu duduk memandang kamar Bumi. Hal ini sudah dilakukannya semenjak habis magrib tadi. Mentari mengamati kamar itu dari lampunya terang benderang hingga redup menandakan sang penghuni sudah tidur. Mentari harus puas hanya memandang siluet Bumi yang terlihat dari dinding kamarnya saat lampu belum dimatikan. Seolah hal ini cukup untuk memberinya semangat untuk keberangkatan esok.
Bunda Bumi sudah menyiapkan aneka makanan kering untuk di Jerman nanti. Bunda berjanji akan mengirimkan stok makanan kering setiap bulan. Bunda hawatir jika gadis itu rindu dengan masakan Indonesia. Bu Sari dan Pak Wilaga juga turut sibuk dengan semua persiapan ke Jerman. Kali ini mereka akan mengantar sendiri Mentari ke Jerman. Sekaligus untuk mengunjungi Iqbal, kakak Mentari yang membuka usaha di sana.
Semua sibuk dengan keberangkatan Mentari, kecuali Bumi. Tetes air mata jatuh dipipi Mentari. Hal yang ditahannya sejak lama. Sejak Bumi mulai menjauhinya, tidak mengantarnya kemanapun. Sejak Mentari mulai belajar mandiri, sejak Mentari mulai berkenalan dengan taksi online, dan mengurus semua sendiri. Sejak Mentari memulai misinya menjadi mandiri, Ibu dan Bapaknya mulai memperhatikannya. Tidak lagi sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mentari senang dengan hal ini, perhatian orang tua yang sulit di dapat saat ini berangsung mulai menjadi mudah. Sekarang ibu mulai menemani Mentari untuk makan malam, Bapak jika tidak bisa menemani makan malam selalu hadir saat sarapan. Kebahagiaan Mentari tidak lengkap karena tidak ada Bumi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Mentari mulai menggigil kedinginan dan memutuskan untuk beranjak. Mentari tidak menyadari saat dirinya beranjak bahkan sejak awal gadis itu berada di balkon, sepasang mata juga mengawasi dirinya dari balik tirai kamar lelaki itu.
"Tari, jangan lupa obat, vitamin, masukkan dalam tas tenteng aja. Jaket juga dipakai" Bu Sari mengingatkan apa yang harus disiapkan Mentari.
"Sudah semua Bu, siap berangkat" Mentari tersenyum melihat kesibukan Ibunya pagi ini. Suasana yang akan selalu diingat. Suasana yang selalu diharapkan dan diimpikannya selama ini.
"Ayo berangkat sekarang, nanti macet di jalan" Pak Wilaga beranjak dari meja makan bersiap pergi.
"Bentar Pak, tunggu Bu Pertiwi dulu. Diam mau ikut mengantar ke Bandara" sela Bu Sari kepada sang suami.
"Coba di telepon, bilang kalau kita sudah mau berangkat", perintah Pak Wilaga kepada istrinya.
"Asalamualaikum, selamat pagi" Bu Pertiwi datang diikuti Pak Iwan sopir Mentari dengan kardus besar ditangannya.
"
Pagi itu Mentari pergi ke Bandara diatar oleh Bunda Bumi dan kedua orang tuanya. Tidak ada Bumi yang datang untuk mengantarnya.
Sepanjang perjalanan ke Bandara Mentari hanya terdiam memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Handphone digenggam erat didada agar bisa merasakan jika ada sidikit saja getaran dari notifikasi atau dering panggilan suara yang masuk. Tetapi harapan itu tidak terwujud. Hingga mobil memasuki loby Bandara, tidak ada satupun pesan dan panggilan masuk dari Bumi.
Mentari mencoba melangkah gontai, menyusuri terminal 3 Sukarno Hatta dengan pandangan tertunduk menatap handphone ditangannya serta Langkah kaki Bapak dan Ibu didepannya.
"Bumi sebenarnya mau datang, tetapi tadi Ayah ada panggilan seminar mendadak ke luar kota. Bumi mengantar karena tidak mungkinkan, Ayah nyetir sendiri. Sopir kami sedang izin, istrinya sakit. Jangan sedih lagi, nanti kalau sudah sampai Bandung, pasti Bumi akan telpon", Bunda Bumi menghibur Mentari sembari membelai rambut Panjang gadis itu.
"Ia, Bunda. Mentari ngerti kok. Ga apa-apa. Bunda ikut mengantar aja sudah Mentari sudah senang. Terimakasih Bunda." Jawab Mentari sembari menampilkan senyum terbaiknya yang gagal. Senyum itu jelas sekali adalah senyum terpaksa. Tergambar kesedihan dan kekecewaan di wajah gadis itu.
"Kalau kering kentangnya habis, kabari Bunda ya. Nanti dikirim lagi. Kamu jangan telat makan." Bunda Bumi mengulang pesan yang sama untuk Mentari. Pesan ini sudah berulang kali disampaikan dengan Mentari. Tetapi tampaknya Bunda Bumi tidak puas untuk mengulangnya lagi.
"Ia Bunda, nanti Tari kabari kalau habis. Kalau kangen Bumi, bisa tidak Bunda kirimkan juga Bumi ke Jerman?" Mentari tidak bisa lagi menahan air matanya. Jebol sudah benteng pertahanan yang sudah satu bulan terakhir di bangun dengan susah payah.
"Oh...sayang" Bunda memeluk Mentari yang menangis. Tumpah sudah semua kekecewaan dan kehawatiran yang dirasakan gadis itu.
Bapak Wilaga dan Ibu Sari hanya bisa memandang kejadian itu dengan sedih. Meraka paham apa yang dirasakan oleh Mentari.
"Sayang, kita harus masuk ke ruang tunggu, sebentar lagi boarding. Kalau liburan, Tari bisa pulang dan bertemu Bumi." Bu Sari menenangkan Mentari.
"Ia Bu. Bunda, terimakasih sudah antar Mentari. Doakan Tari betah di Jerman." Mentari mengurai pelukan Bunda Bumi, menyeka air matanya dan mencoba tersenyum.
"Ia sayang, pasti Bunda doakan. Baik-baik di negeri orang. Pandai-pandai membawa diri. Jangan lupa Sholat." Bunda memberikan pelukan terakhir kepada gadis manis itu.
"Terimakasih Bunda Bumi sudah mau antar kami sampai Bandara. Nanti Bunda pulang dengan sopir kami saja." Ujar bu Sari.
"Sama-sama bu. Mentari sudah saya anggap anak sendiri. Terimakasih, baik nanti saya pulang dengan sopir ibu. Hati-hati dijalan. Kalau sudah sampai segera kabari saya bu" jawab Bunda Bumi.
"ia, nanti saya kabari. Baik bu, kami pamit" ujar bu Sari
"silahkan bu. Mentari, semangat ya" jawab bunda Bumi
"ya Bunda. Mentari pamit", Mentari mengambil tangan Bunda Bumi untuk salim sebelum kemudian masuk keruang tunggu pesawat untuk boarding.
Sementara itu di kamar Bumi. Lelaki itu sedang duduk di balkon kamarnya menatap balkon kamar Mentari. Kesedihan terpancar jelas di muka lelaki itu. Sesekali dia melihat handphone dimana terdapat foto Mentari dengan muka sedih memandang jendela mobil sambil menggengam handpone di dadanya. Foto itu dikirim Bunda satu jam yang lalu. Itu berarti saat ini Mentari sudah sampai di Bandara bersiap terbang ke Jerman.
Bumi sekuat tenaga menahan keinginan untuk bertemu Mentari. Setengah mati menahan rindu mendengar suara manja gadis itu. Rajukannya, muka cemberutnya. Cerewetnya saat punya keinginan yang belum dikabulkan. Selalu mengikuti kemanapun dirinya pergi. Tidak ada lagi Mentari. Ingin rasanya Bumi mengantar kepergian gadis itu. Tetapi dia hawatir jika hal itu dilakukan, dirinya akan melarang Mentari pergi. Lelaki itu tidak yakin apakah dia sanggup melepas kepergian Mentari. Sebulan terakhir tanpa Mentari semua sudah berbeda. Sebagian dirinya terasa tidak lengkap, ada sisi ruang yang kosong. Tidak ada Mentari, si gadis manja. Tidak ada rengekan, tidak ada omelan, tidak ada rajukan. Bumi selalu melihat Mentari dari kejauhan untuk sekedar membunuh rasa rindunya. Gadis itu berusaha mandiri dengan melakukan semua sendiri. Menjadi hiburan tersendiri bagi Bumi saat melihat betapa bingungnya Mentari saat ingin mendaftar kursus Bahasa Jerman. Beruntung para staf disana dengan sigap menghampiri Mentari dan menanyakan keperluannya. Bumi juga tertegun dan hampir muncul dihadapan Mentari saat melihat gadis itu menunggu dengan panik taksi online yang tidak kunjung datang. Tetapi gadis itu bisa melaluinya sendiri. Bumi tertegun dengan tekad kuat gadis itu. Seorang putri di rumah yang selalu dilayani dan dimanja. Pergi dengan taksi online dimana gadis pada umumnya adalah hal biasa dan lumrah menjadi suatu hal yang sulit dan membuat gadis itu sulit tidur, karena ini pertama kali dalam hidupnya pergi tanpa pengawalan supir Ayahnya atau Bumi. Tapi Mentari bisa melaluinya. Bumi tidak ingin mengacaukan semua. Mentari harus meraih mimpinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI DAN MENTARI
Romance"Kenapa sich, kamu ga pernah mau dengerin aku?" "Kenapa aku harus dengerin kamu? Emangnya kamu siapa aku? Penting gitu!" "Emangnya kamu siapa aku? Penting gitu" kalimat yang diucapkan Bumi terngiang ditelingaku. Betapa tidak ada artinya diriku dimat...