[6] Tak Ingin Pulang

67 4 0
                                    

Jovian, Jazziel, Haydar, Rhenaldy masih terus berlari hingga sampai di persimpangan jalan, tempat dimana mereka semua harus berpisah untuk hari ini.

"Duluan, ya." pamit Jazziel pada yang lain. Setelah melambaikan tangan, Jazziel berbalik kemudian berjalan tanpa kembali menoleh ke belakang. Sudah puas ia bermain-main hari ini, malam nanti ia akan belajar demi nilainya dan pujian dari kedua orang tuanya.

"Gue juga duluan, ya. Gue harus masak makan malam buat Mamah." Rhenaldy pamit lalu melemparkan senyuman manis sebelum dirinya menghilang dibalik tembok besar rumah milik orang lain.

Nyaris saja Haydar berkata untuk apa Rhenaldy bersusah payah memasak kalau ujung-ujungnya pasti sang Mamah akan membeli makanan dari luar alih-alih memakan masakan anaknya sendiri? Tapi jika Haydar sampai berkata demikian, ia akan berakhir ditangan Jazziel dan Jovian. Membayangkannya saja sudah membuat Haydar bergidik ngeri lalu menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Kenapa?"

"Hah? Gak."

"Kalau gitu gue pamit, ya. Nanti malam kan ada pertandingan. Gue harus istirahat dulu sebelum itu. Dah~" Jovian melambaikan tangannya lalu berjalan meninggalkan Haydar dengan langkah tegak dan kedua telapak tangannya yang ia masukkan kedalam saku celananya. Ia tampak gagah walau wajahnya tak terlihat. 

Haydar diam menatap punggung Jovian yang berjalan semakin menjauh. Ia bingung. Ia ingin pulang sebenarnya, ia sudah terlalu lelah hari ini. Ingin membaringkan tubuhnya dikasur empuk, tapi ia juga takut kalau harus bertemu dengan Kakaknya. Takut ia akan merasakan hal itu lagi di Selasa yang melelahkan ini.

Tapi jika ia tak pulang, kemana ia akan pergi? Tidak mungkin ia melakukan hal yang kemarin malam ia lakukan, yaitu berjalan-jalan sendirian sampai tengah malam. Harap-harap ia tidak bertemu dengan Kakaknya yang baru pulang kuliah. Ya, walau setelah itu tanpa sengaja Haydar menjatuhkan gelas plastik yang hendak ia bawa ke kamarnya membuat suara benda jatuh itu menggema lalu seakan-akan memerintahkan sang Kakak untuk segera menangkap Haydar yang kelelahan.

Dan, benar saja. Kakaknya memergoki Haydar disana. Dengan senyum jahat, Kakaknya itu langsung menyeretnya ke toilet.

"J—Jovian."

Jovian menghentikan langkahnya, berbalik menatap Haydar dengan salah satu alis yang ia angkat, "Kenapa?"

Dengan gerakan cepat, Haydar berlari menghampiri Jovian, "Gue ikut lo boleh gak?"

"Hah? Buat apa?"

"Eum, gak sih. Cuma kan, ya, gue yang kasih informasi itu ke elo. Jadi gue mau ikut ke arena balap itu. Kan, gue yang tau tempatnya." Haydar menimang-nimang perkataannya. Terdengar ragu, tapi tak sampai terlalu terbata-bata.

Jovian terkekeh, "Ah, gak usah. Gue juga tau kok di mana tempatnya."

Haydar terkejut. Sebenarnya ia hanya ingin pulang larut malam demi menghindari orang rumahnya. Ini satu-satunya cara yang bisa ia lakukan, pikirnya.

Ia sedikit kecewa dengan jawaban Jovian barusan.

"Jadi lo gak usah ikut. Udah sana pulang." Jovian memutar tubuh Haydar lalu mendorongnya pelan, menyuruhnya untuk segera pulang karena hari sudah hampir gelap.

"Tapi, Jov—"

"Stts, besok ada ulangan fisika. Belajar gih."

"Jovian." tak mau berhenti sampai situ saja, Haydar tetap kekeuh ingin ikut bersama Jovian.

Jovian berbalik lalu melemparkan senyuman manisnya, sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan Haydar, Jovian sempat melambaikan tangannya lalu pergi berjalan menuju rumahnya.

Haydar menghela napas berat, lalu menunduk melihat kaki kirinya yang kini tengah menyapu aspal. Haydar kira Jovian akan tahu alasan ia ingin ikut bersamanya dan mempersilahkan dengan senang hati untuk Haydar ikut bersamanya. Ah, Haydar terlalu berekspektasi tinggi. Tidak mungkin Jovian akan tahu kalau Haydar saja tidak memberitahukan alasan sebenarnya ia berkata seperti itu.

"Ya, udahlah. Terima nasib aja nanti." Haydar mengambil jalur barat, sama seperti arah rumah Rhenaldy, hanya saja setelah itu Rhenaldy harus menyeberang lagi sedangkan Haydar lurus terus sampai bertemu dengan rumahnya.

Haydar berhenti melangkah tepat di depan halte bus. Ia memilih untuk duduk sejenak, terlalu takut untuk pulang ke rumah.

"Mah, Aydar harus gimana?" gumamnya sambil mendongak menatap langit. Ia masih bimbang, haruskah ia pulang atau tetap menunggu disini sampai malam hari tiba? Baru kali ini Haydar takut untuk pulang, baru kali ini jantung Haydar rasanya berdetak begitu cepat sampai nyaris saja meledak ketika mendengar kata 'pulang'.

Oh, Tuhan, Haydar sangat bimbang.

"Main game dulu sabi kali, ya?" tiba-tiba terbersit satu pemikiran lucu, daripada menunggu lalu galau-galau tidak jelas, lebih baik ia memainkan game diponselnya sembari menunggu waktu yang tepat untuk pulang. Mungkin nanti ketika keluarganya sudah terlelap baru ia akan pulang.

Sudah cukup lama Haydar duduk di halte, ia juga sudah mulai bosan untuk bermain game, jadi ia memasukkan kembali ponselnya kedalam saku bajunya. Meregangkan tubuhnya, Haydar melihat sekitar. Sepi karena hari sudah mulai malam.

Ting!

Haydar kembali mengambil ponselnya lalu menyalakan layarnya. Terlihat notifikasi pesan dari sahabatnya, Jovian.

Jovian

|Dimana?

Satu pertanyaan yang membuat Haydar menaikkan salah satu alisnya. Bingung campur heran. Tadi dia yang menyuruh Haydar untuk pulang dan tak usah ikut, tapi sekarang dia malah menanyakan keberadaan Haydar.

Jovian

|Jangan cuma dibaca. Lo dimana? S
Udah pulang apa belum?

Haydar


Eh? Kenapa emang?|

Jovian

|Jawab dulu, udah pulang apa belum?

Haydar

Belum.|

Jovian

|Astaga, lo dimana sekarang?
|Gue jemput.
|Kenapa belum pulang sih? Udah Maghrib.

Haydar

Halte di tempat Rhenaldy nyebrang|

Jovian

|Gue kesana. Tunggu.

"Mau dia apa sih?" Haydar menghela napas panjang, lalu kembali duduk menunggu Jovian datang.

"Tapi syukur, deh. Jadi gue bisa ikut dia nonton balapan." lanjutnya dengan senyum sumringah.

❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌

Beberapa chapter lagi akan ada adegan yang sepertinya akan menggangu beberapa pembaca, jadi mohon jadilah pembaca yang bijak ya. Kalau sekiranya itu bikin kalian risih, skip saja. Tidak apa-apa asalkan tetap vote ;)

Sebelum ke adegan itu, saya mau memberitahukan bahwa karakter antagonis dan protagonis yang ada didalam cerita ini semuanya adalah anak SM, terutama NCT yang akan berperan penting disini.

Peran orang tua akan diperankan oleh senior-senior NCT seperti EXO, RV, SNSD, SUJU.

Peran antagonis juga akan diperankan oleh beberapa anak NCT.

Jadi mohon untuk jangan membenci mereka dikehidupan nyata🥺 cukup dicerita ini saja. Dan jangan dibawa-bawa ke kehidupan asli karakter pemain "imperfect".

ImperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang