[17] Ayah

77 4 0
                                    

Tivadar melemparkan tasnya ke atas sofa ruang tamu. Napasnya memburu, hatinya terasa panas dan sesak. Ia masih mengingat kejadian siang tadi. Tentang betapa teganya sang Ayah menghukumnya diterik sinar matahari yang sedang berada di puncaknya. Ia harus menahan rasa sakit pada kepalanya mati-matian, menahan dadanya yang terasa sesak, bahkan pada saat itu, ia mulai bernapas melalui mulutnya.

Tivadar mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia menghempaskan tubuhnya pada sebuah sofa sembari menunggu Ayahnya pulang. Ia kembali teringat pada saat ia bertemu dengan seorang lelaki yang akan menjadikannya sebagai anak angkat. Seorang lelaki yang kala itu datang dengan mengenakan kemeja putih celana hitam dengan sepatu yang nampak mengkilap, pada saat itu Ayah nampak sangat gagah dan masih sangat muda. Bahkan, Tivadar sempat berpikir bahwa lelaki gagah ini masih sendirian.

Katanya, Ayah baru mendapatkan pekerjaan disebuah sekolah di pusat kota dan ingin mempunyai teman berbincang di rumah. Tivadar yang kala itu masih kecil, tersenyum gembira saat ia mendengar bahwa ia akan segera memiliki seorang Ayah. Sosok yang ia idam-idamkan selama ini.

"Kami akan mengurus dokumennya dulu ya, Pak." ucap seorang wanita yang usianya mulai menginjak kepala empat. Lalu wanita itu menatap Tivadar lembut, "Nak Tivadar ngobrol dulu ya sama Pak Agra. Ibu mau mengurus dokumen-dokumennya dulu." yang hanya dibalas anggukan penuh semangat oleh anak yang berusia 10 tahun itu.

"Pak, saya permisi sebentar ya." pamit wanita itu pada Pak Agra.

Pak Agra mengulas senyum hangat menatap Tivadar lamat-lamat. Tivadar langsung jatuh cinta pada senyuman itu. Dan ingin memiliki senyuman yang sama hangatnya dengan Pak Agra.

Tangan Pak Agra tergerak tuk menepuk sofa di sampingnya, memberitahu kepada Tivadar untuk duduk di sampingnya. Dengan penuh semangat, Tivadar berlari kecil menghampirinya.

"Udah kelas berapa sekarang?" tanyanya sembari jari-jemarinya membelai lembut rambut Tivadar. Sebenarnya, Pak Agra sudah tahu banyak tentang Tivadar, tetapi ia hanya basa-basi agar hubungannya bisa lebih dekat lagi dengan Tivadar.

"Empat, om!" senyuman lebar itu membuat gigi depannya yang ompong terlihat.

Pak Agra tergelak mendengar jawaban itu, "Mulai sekarang, panggil Ayah ya."

"Okei, Ayah!" ucap Tivadar dengan mata berbinar-binar.

Sudah terhitung 7 tahun Tivadar hidup bersama dengan Pak Agra, banyak hal yang Tivadar ketahui tentang Ayahnya ini. Salah satunya, fakta bahwa Ayah sebenarnya memiliki seorang anak laki-laki yang mungkin usianya tidak jauh dari dirinya. Jika suatu saat nanti semesta mempertemukan Ayah dengan anak kandungnya, kelak Tivadar akan menjadi seorang Kakak. Tentunya perasaan Tivadar kala itu bercampur aduk. Ada rasa senang sekaligus takut. Senang ia ternyata memiliki saudara walau bukan saudara sekandung, dan takut ia akan dilupakan oleh Ayah. Tivadar yang kala itu sudah berusia 15 tahun, hanya bisa berharap sang Ayah akan masih menyayanginya seperti dulu.

Namun, sebuah fakta mencengangkan ia ketahui kala ia duduk dibangku kelas 12. Sebuah kebetulan yang entah berasal darimana, ia diperintahkan oleh Ayahnya untuk mengambil daftar murid baru di ruangannya. Selembar kertas yang ia bawa tiba-tiba saja terjatuh. Membuatnya secara tak sengaja membaca identitas anak baru yang tertulis dengan rapih.

Rhenaldy Agra Byantara, seorang murid baru yang membuat jantung seorang Tivadar berdetak cepat saat membaca namanya. Nama Agra memang banyak di dunia ini, namun ia takut, lembaran identitas yang kini sedang ia baca merupakan anak kandung sang Ayah. Ia belum siap kehilangan sosok Ayah. Ia terlalu takut untuk menghadapi faktanya. Walau ia sudah tahu kebenarannya, ia tetap tak mampu bila harus kehilangan Ayah dan tak terima jika Ayah membagi rasa sayangnya pada yang lain. Ia tahu ia egois, tetapi perasaan takut akan kehilangan telah menguasainya.

ImperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang