Jovian mulai berjalan memasuki arena balap. Walau ia belum bergabung dengan grup manapun, tapi ada seseorang yang menuntun motornya memasuki arena balap. Dan itu selalu, ada seseorang yang mendukung Jovian dalam diam. Semenjak ia mulai menjajal dunia balap, ia seakan-akan merasa terbantu dengan hadirnya sosok yang tak ia ketahui namanya dan wajahnya pun... Sepertinya Jovian tak tahu. Setelah meletakkan motor milik Jovian, seseorang itu langsung pergi menghilang bak ditelan bumi seperti biasanya.
Jovian langsung menaiki motornya tanpa mempunyai keinginan untuk menyapa atau sekedar basa-basi kepada Tivadar. Menyalakan motornya lalu memainkan gasnya untuk mengecek apakah gasnya sudah enteng apa belum. Melihat Jovian yang terus-menerus memainkan gasnya, perhatian Tivadar beralih menatap Jovian. Wajah baru dan penantang baru itu sepertinya mempunyai nyali tinggi untuk melawannya. Seketika, bibir kanan Tivadar tersungging senyuman meremehkan.
"Oy!" panggil Tivadar.
Jovian langsung menghentikan aktivitasnya, beralih menatap Tivadar yang tadi memanggilnya.
"Punya nyali juga lo." ucap Tivadar disertai tawa meremehkan.
Jovian menghela napas, "Gue selalu punya nyali. Dan yang nentuin gue mau tanding sama siapa itu bukan gue. Tapi panitia. Silakan lo salahin panitianya kenapa milih gue buat jadi rival lo." jawab Jovian tak mau kalah.
Tivadar tertawa, ia tak menyangka Jovian akan membalas perkataannya, "Wah, wah. Penantang baru ini kayaknya belum pernah liat kemampuan gue ya?"
"Emang belum." jawab Jovian dingin dan ala kadarnya.
"Pantesan." Tivadar lagi-lagi tertawa, diikuti oleh teman-temannya yang sedang berkumpul untuk sekedar memberi semangat kepada Tivadar, jagoannya.
"Kasih tau dia Tivadar, kemampuan lo. Biar dia liat, kalau lo gak ada tandingannya." ucap salah satu temannya yang kini memberikan ejekan berupa jempol yang menghadap ke bawah.
"Kita liat aja nanti." ucap Tivadar lalu mengikuti permainan gas Jovian.
"Ok." ucap Jovian lagi-lagi dengan nada dingin.
Seorang wanita cantik yang tengah memegang sebuah kain berjalan berlenggak-lenggok di depan Jovian dan Tivadar. Lebih tepatnya berdiri di atas garis start. Menaikkan kain itu tinggi-tinggi sambil menunggu aba-aba dari seseorang yang mengawasi sepanjang pertandingan. Setelah mendapatkan anggukan, cewek itu tersenyum manis lalu mulai menghitung mundur.
"3."
Jovian dan Tivadar sama-sama mulai memainkan gas mereka. Lalu saling melirik. Ekspresi Jovian biasa saja, tapi Tivadar—entahlah. Susah dijelaskan dengan kata-kata.
"2."
Jovian harus fokus. Jovian harus mendapatkan uang lomba itu. Uang itu akan ia gunakan untuk membayar uang ujian yang 3 bulan lagi akan sekolah laksanakan. Dan uang itu juga akan ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Ya, memang seperti ini kehidupan Jovian. Mengandalkan uang hasil balapan untuk sekedar makan dan minum. Makan tiga kali sehari saja sudah sangat cukup walau lauknya hanya sepotong ayam. Walau sebenarnya ia berasal dari keluarga kaya, tapi ingat, awal kisah Jovian saja sudah sangat suram lalu berakhirlah Jovian pada posisi ia harus berjuang untuk hidupnya sendiri.
Sebenarnya Jovian bingung, kenapa Jovian ditempatkan sebagai lawan di final. Karena biasanya Jovian harus bertanding terlebih dahulu lalu menang supaya ia bisa bertanding di final nanti.
"1!"
Tepat setelah cewek cantik itu melemparkan kain yang ia pegang, Jovian dan Tivadar langsung menancapkan gasnya sekencang mungkin.
Tivadar melaju dengan begitu cepatnya di depan Jovian, membuat Jovian sedikit terkejut. Baru jalan beberapa meter dari garis start saja Tivadar sudah dapat mendahuluinya dengan begitu mudahnya. Jovian tidak boleh kalah, ia harus melalui 3 putaran itu dengan baik dan cepat.
Di tempat Haydar berdiri, Haydar terus mengekori motor Jovian yang mulai menjauh mengejar motor Tivadar. Haydar masih setia berdiri bahkan saat Jovian melakukan putaran keduanya. Rasa antusiasnya mengalahkan rasa lelahnya malam ini. Ia dengan sabar menunggu Jovian menyelesaikan pertandingannya dan harap-harap Jovian dapat menenangkannya.
Saat ia sedang sibuk berdoa dalam hati, seseorang yang berdiri disampingnya mengatakan sesuatu yang membuat Haydar harus menghentikan doanya untuk sementara.
"Jovian itu hebat ya." katanya.
Haydar menoleh ke samping, dilihatnya seorang pria dengan jaket hitam, celana hitam, dan topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Mengerutkan keningnya bingung.
"Iya."
"Lo temannya Jovian ya?" tanyanya lagi tanpa menatap Haydar.
"Lebih dari sekedar teman."
"Pacar?"
"Gila, bukan! Sahabat." Haydar mendesis. Bisa-bisanya dia berpikiran seperti itu. Sungguh dangkal otaknya. Haydar menyangka-nyangka, siapa sebenarnya dia? Apa Haydar mengenalnya? Atau dia yang mengenal Haydar? Atau dia temannya Jovian yang Haydar tidak ketahui? Tapi jika Haydar pikir-pikir lagi, suara dan bentuk rahangnya sangat asing. Wajahnya tak terlihat membuatnya yakin kalau ia dan orang ini pernah bertemu sebelumnya.
"Sebelumnya lo udah pernah nonton balapannya Jovian?"
Cowok asing ini terus-menerus bertanya kepada Haydar. Seperti sedang menginterogasi layaknya orang tua yang menginterogasi calon masa depan anaknya. Tapi mau bagaimana pun, harus tetap Haydar jawab.
"Belum."
"Jadi, ini pertama kalinya lo nonton?"
"Iya. Eh, kenapa lo nanya terus sih? Kayak lagi interogasi gue aja."
Cowok itu nampak sedang terkekeh kecil, kemudian pandangannya kembali pada jalanan kosong seperti tak mengindahkan kehadiran Haydar di sampingnya.
Haydar hanya bisa mengernyit heran. Kok bisa ada manusia seaneh dia?
❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌❌
Halooo!!! Aku pengin cepet-cepet tamatin cerita ini biar bisa ngerjain cerita baru. Jangan lupa vote yyyyaw!!! Share ke teman Sijeunni kalian jugaak biar bisa ikutan bacaaa
Kenalin, ini Tivadar
Tivadar: "halo semuanya, salam kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect
FanfictionDunia membawa mereka bertemu, mempertemukan mereka dalam satu lingkaran. Lingkaran persahabatan yang tidak akan pernah bisa ditembus oleh orang lain. Persahabatan mereka begitu kuat, berjanji tak kan saling meninggalkan sampai pada suatu titik diman...