24. Membunuh Secara Perlahan

45 14 0
                                    

Yang aku pikirkan sejak tadi telah tiba. Selepas beberapa menit adzan subuh, Kepala SMA datang ke sekolah ini dengan seragam Pramukanya.

Semua mata tertuju padaku secara satu persatu, aku tak membalas pandangannya satu-satu dan berusaha tetap setenang mungkin untuk berdiri di tengah lapang bersamaan dengan yang lain.

"Loh, kalian benaran nginap di sekolah?"

Sunyi dan dingin. Tak ada satupun ucapan yang terlontar dari mulut kami detik selanjutnya. Hanya ada anggukan kepala Kak Anton yang membalas pertanyaan beliau.

Suara sepatu pantofel dengan irama anggun menyita perhatian kami semua. Tak terlihat siapa yang dibalik tembok tangga tersebut, yang pasti aku sudah mengetahuinya.

"Papah! Papah datang di waktu yang tepat!!!"

Tenggorokanku terasa kering mendengarnya. Dugaanku sepertinya tak akan meleset, kesempatan ini tak datang dua kali bagi mereka yang membenciku karena satu-satunya yang penerima beasiswa angkatan terakhir di sekolah elite Harapan Bangsa.

"Ada apa, Anakku? Bapak baru saja transfer kamu untuk bekal perkemahan, bapak ada acara dua hari dimulai besok. Tiga juta untuk tiga hari, cukup?" kata Kepala SMA yang membalas tersebut sambil membawa anak semata wayangnya itu ke dalam dekapannya.

"Makasih Papah! Papah-Mamah memang yang terbaik, muach!" balas Agnesia sambil mencium ayahnya beberapa kali sebelum melirik ke arahku.

Kasih sayang dari dua orang tua, anak semata wayang, dan harta bergelimang. Benar-benar kehidupan yang biasanya lebih terlihat di film Disney.

"Kak Agnesia, itu yang di belakang gimana jadinya?"

Langkah ruang Agnesia terhenti mendengar kalimat tersebut. Kalimat yang terlanting dari sahabat karibnya, yakni Melinda alias adik tiriku. Lalu detik selanjutnya dada-ku terasa nyeri terutama tatkala pandanganku dan Agnesia saling bertubrukan.

"Pah, Papah tahu nggak kalau di belakang ada bangkai?" kata Agnesia tersenyum, lalu pandangannya kembali ke arahku.

Napasku memburu bak mengejar detik jarum jam, terutama ketika Agnesia menggunakan kata bangkai. Seolah seonggok tubuh dingin nan membiru itu sudah tak ada harga dirinya lagi di matanya. Emosi-ku kian memuncak!

"Bangkai? Biasalah palingan gagak kedinginan. Nanti juga dibersihkan—"

"Bangkai manusia ...." kata Agnesia yang membisikkan ke ayahnya, namun dapat didengar secara jelas karena keadaan di sini benar-benar hening.

"Si-siapa yang membunuhnya?!"

"Tidak!

Mataku memelotot tatkala Melinda yang berada di sampingku melirik ke arahku.

"Nggak- nggak bukan gue! Gue di ruangan itu—"

"Sherin ... memangnya ada yang berbicara dengan kamu? Kenapa kamu menyalip perkataanku?"

Mati kutu! Kepala sekolah dan barisan siswa-siswi melirik ke arahku setelah diriku mengucapkan hal tersebut. Benar juga, kecerobohanku di puncak tertinggi. Entah kenapa mulutku lebih mudah melantunkan kalimat tersebut, padahal sebelumnya diriku sudah bukan sekali-dua kali tergagap-gagap secara mendadak.

"Kalau kau tidak terlibat di TKP, seharusnya kau tidak berbicara. Karena pembicaraan ini antara ayah dan anak, Kakak?"

Kalah telak! Itulah yang kurasakan tatkala adik tiriku menutup malam yang indah ini, sebelum pandanganku berkunang-kunang.

_POSSESSED_

"Sherin ...."

"Sherin ... Sherin ...."

Secara sontak mataku terbuka. Detik itu juga napasku memburu tatkala melihat ke sekeliling memandang ruangan putih abstrak yang hanya ada nenek kandung tepat di sampingku.

"Waktumu tak banyak, Nak, tapi belum terlambat untuk membantu ini semua, Nak, kamu pasti bisa, Nak," kata nenek sambil menggoncang-goncangkan tubuhku yang masih tertidur di ruangan tak beralas dan berujung.

Goncangan itu kini di temani histeris yang kuat. Hal itu membuatku mual sekaligus pusing. Mual entah apa penyebabnya, akan tetapi ruangan abstrak tak berujung ini terasa berputar-putar lalu dalam sekejap kembali menghitam. Gelap total.

"Sherin ...."

"Sherin ... Sherin ...."

Panggilan kembali memanggilku, namun kali ini berbeda karena itu suara Calnira. Detik selanjutnya, diriku mendapati bahwa sudah bukan di tempat yang tadi, melainkan sudah di dimensi yang nyata.

"Lo tadi pingsan selama tiga jam. Tadinya gue udah izin ke Kak Anton dan Kak Agnes buat izinin Lo sama gue absen ke rumah sakit. Tapi dia kekeh gotong lu sampai masuk ke mobil TNI ini. Sorry ya, Sher," kata Calnira, dengan raut wajahnya yang merasa sangat bersalah

Aku terkekeh mendengar itu, padahal diriku kini sehat bugar. Walaupun, pertanyaan mengapa diriku bisa pingsan tidak bisa dieelakkan mulai detik ini.

"Sudah sampai mana sekarang?" tanyaku.

"Apanya?" potong Veronica, teman satu ekstrakurikuler-ku.

"Mobilnya ...."

"Ohhh ... kirain kasus pembunuhannya."

Kalimat pemikiran Veronica tertohok tepat di jantungku. Aku tahu walaupun perkemahan ternyata tetap dilaksanakan—bahkan kukuh mengajak diriku yang masih mengenakan pakaian bebas bercipratan darah—membuat diriku semakin engap. Tak ada angin segar yang bisa kuhirup selama kasus ini masih terus diulur oleh waktu, walaupun secara logika angin segar sedari tadi berembus ke sana-kemari aku tetap merasa sesak.

Keheningan memang merasuki kami setelah kalimat itu, aku pun tak berniat mengubah atau memulai kembali topik pembicaraan. Karena yang pasti, isi kepalaku tidak akan pernah sepi. Rentetan pertanyaan, ribuan penghakiman, dan jutaan alasan untuk menghentikan hidup sedang menyerbu terus menerus di dalam isi kepalaku saat ini.

"Kamu kok bajunya penuh bercak gitu?" kata salah satu anggota TNI, yang baru saja terbangun dari tidurnya, sepertinya.

Aku tak menyadari kehadirannya di paling pojok—bahkan memang tak kelihatan karena tertumpuk tas. Akan tetapi aku berharap dia tak mendengar celetukan Veronica, dan hanya berbasa-basi Karena aneh aku aku mengenakan pakaian bernoda darah. Ya, semoga, entah sudah berapa semoga yang aku ucapkan di dalam hati Minggu ini banyak.

"Emmm ini, tadi saya sama yang lain potong ayam buat makan bareng. Cuman saya langsung mual pas motong," ngeles-ku yang ternyata cukup lancar.

"Ohhh kirain, soalnya tadi ada yang nyeletuk pembunuhan-pembunuhan, mungkin saya salah dengar," ucap tentara itu, yang detik selanjutnya menyeringai membuat bulu kudukku merinding.

"Engga, apa yang dia ucapkan benar, kok, dia pingsan," bela Calnira.

Benar, benar-benar diriku berbohong. Bukannya begitu, Cal?

Detik selanjutnya sama seperti tadi, keheningan menyandera diriku bersamaan rasa bersalah yang terus gentayangan. Di luar sana rintik-rintik berubah menjadi tubian rinai hujan. Rasa dingin seketika menyergap memasuki pori-pori kulitku. Akan tetapi bukan kedinginan yang membuatku terbeku, melainkan sesosok perempuan kebaya merah itu yang terlihat sekelebatan di dalam hutan.
G

G
Jangan, tolong beri sedikit ruang, ini membunuhku secara perlahan!

POSSESSED AT SCHOOL [KERASUKAN] #SpookyStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang