Rasa aneh kembali menjalar ke seluruh tubuhku. Dorongan hati terketuk untuk membuka buku diari kuning yang kubawa. Sebab, segala keanehan itu juga dimulai dari kemarin lusa ketika tak sengaja mengambil buku tersebut.
Aku dan diikuti Calnira duduk bersebelahan dengan Keano. Lalu perlahan membuka buku kuning tersebut yang sudah menguning, bahkan tinta pensilnya sudah sedikit mengabur.
Rapi dan mengandung estetika. Itulah yang muncul di benakku tatkala melihat goresan pena yang terukir di buku tersebut. Andaikata diriku tak ingat sedang mencari sesuatu, pasti diriku akan terlena untuk menelaah lebih lanjut cara sang penulis belajar menulis serapi ini.
Bandung, 5 Januari 1998.
Buruk. Entah apa salahku sampai seperti ini. Yang pasti, aku masih terjebak di kerak neraka duniawi yang begitu panas.
Dilihat dari cara menulis hingga pembagian bagiannya, si penulis ternyata lebih suka memberikan pesan secara implisit ataupun halus.
Tak ada keterangan apapun yang aku dapatkan dari sobekan seperempat lembaran pertama. Justru meninggalkan banyak pertanyaan. Akhirnya aku ragu.
"Kenapa buku ini kamu baca?"
Aku mengabaikan pertanyaan retoris yang terlontar dari ucapannya. Rasa dingin pun kembali merasuki menggantikan keraguan yang ada di dalam diriku.
Tak lama kemudian, semuanya memutih. Berada di dimensi lain. Tapi ini tak asing, karena beberapa kali menghampiri diriku. Rasa dingin sudah sirna, tergantikan dengan haus di kerongkongan yang mendadak menyergap.
"Cucu-ku."
Oh tidak, batinku. Tidak salah lagi, aku sangat benci tempat ini. Tempat kedua yang membuatku muak setelah rumah baru yang dibelikan ayah kepada ibunya Melinda. Rumah yang kini kami tempati.
"Aku tahu perasaanmu. Tapi ini takdir, Nak. Untuk kali ini, semua tergantung padamu. Nenek tidak akan memaksakan kamu untuk—"
SRTTT!
Telingaku berdenging bersamaan dengan rasa kliyengan yang membuat keseimbangan tubuhku goyah. Untungnya Calnira sempat menangkap ku, sehingga diriku terjantuh tidak terlalu sakit ataupun terhantam ke lantai seperti yang sudah-sudah.
Sensasi ini. Sensasi aneh seperti hampa ketika diriku kembali sadar bahwa diriku masih di sini. Entah dibawa ke mana nenek dari ibu kandungku karena yang pasti tak hanya aneh, mual dan pusing pun langsung memporak-porandakan tubuhku.
"Lo kenapa, Sherin?"
Aku tak menjawab pertanyaannya. Rasa penasaran lebih dulu berkecamuk di dalam pikiranku tentang apa yang ingin diucapkan oleh almarhum nenekku. Tapi yang pasti, seluruh pandangan raguku mengarah ke arah buku diari kuning yang masih terus kugenggam.
"Lo ...."
Napasku tercekat. Tidak, jangan secepat ini Keano sadar bahwa diriku indigo. Aku tidak mau karena ... entahlah, karena dia ikut menghinaku pun itu hak dia. Tapi yang pasti, tolong jangan secepat ini, Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
POSSESSED AT SCHOOL [KERASUKAN] #SpookyStory
Horor"Datang membawa dendam, pulang membawa nyawa." Sherina Oktafiansyah adalah seorang penulis yang membenci anugerahnya sendiri. Karunia Tuhan membuatnya mampu melihat 'mereka' yang tak kasat mata. Akan tetapi, Sherina selalu dihina dengan 'gadis bodoh...