Tuhan...
Ketika aku sedang kecewa, aku memilih untuk memendamnya sendiri. Dan ketika semua itu sudah tak bisa ku bendung lagi, aku memilih untuk menangis.
Percayalah, aku selalu belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Aku selalu belajar untuk terus berharap, bersabar, mengerti dan percaya bahwa akan datang hari dimana aku bisa tersenyum kembali.
Terkadang aku memang sering mengeluh, tapi aku tidak pernah menuntut hal yang lebih. Aku hanya ingin merasakan kasih sayang Papa dan Mama seperti dulu lagi. Sewaktu aku masih kecil. Sebelum kejadian menyakitkan itu merenggut dua malaikat tak bersayapku.
Tuhan... sungguh. Aku kehilangan banyak. Berkahnya, cintanya, sentuhannya dan pelukan hangatnya.
Aku ingat betul, Mama pernah bilang; selalu ada kehilangan dan perpisahan. Yang perlu di lakukan hanyalah bersiap. Namun sekeras apapun aku berusaha untuk ikhlas, tetap saja rasanya sangat menyakitkan.
Ketika melihat orang lain meleburkan lelah dan air matanya di pelukan Mama, aku hanya melebur dengan pekatnya malam. Ketika mendengar kisah orang menumpah beratnya hidup dengan Papa, aku hanya bisa menatap perih foto usangnya.
Mama Papa... jika itu tentang kalian, kenapa selalu saja air mata kerinduan tak bisa ku tahan?
•••
SEPERTI BIASA, hari senin merupakan hari yang buruk bagi Jisoo. Kamarnya seketika berubah menjadi kapal pecah karena kebiasaan buruknya; mencari kaos kaki dan dasi yang tiba-tiba menghilang entah kemana saat hendak di pakai.
"NOONA JI?!" Suara Bibi Ann menggema di balik pintu kamar Jisoo. "Tolong cepatlah bangun, Noona. Bibi takut kena semprot lagi sama Mas Seokjin kalau Noona tidak segera bangun. Sedari tadi Mas Seokjin terus menerus menelepon Bibi karena nomor telepon Noona tidak aktif," sambungnya terdengar sangat pasrah.
Jisoo memutar bola matanya sembari berdecak kesal. Ingin sekali rasanya ia mengumpat karena tadi malam Jisoo di landa insomnia serta berakhir dengan meratapi hidupnya yang menyedihkan ini. Akhirnya ia bangun kesiangan sehingga menyusahkan dirinya sendiri dan tentunya juga Bibi Ann.
"Iyaiya aku udah bangun, Bi! Bilang aja ke Kakak kalau aku kesiangan dan aku lupa nggak nge-charger handphone makanya nomorku nggak aktif," jawab Jisoo.
Akhirnya Bibi Ann bisa bernapas lega karena Jisoo merespons kata-katanya barusan. "Tapi... kenapa Noona tidak keluar-keluar? Atau ada yang perlu Bibi bantu?"
"Kaos kaki dan dasiku! Aku belum menemukannya, Bi!" teriak Jisoo sudah benar-benar frustasi.
Sementara Bibi Ann terlihat menepuk jidatnya. "Berhentilah mencarinya, Noona. Kaos kaki dan dasi Noona masih ada di meja setrika, Bibi lupa belum membawanya ke atas," ucapnya merasa bersalah.
"Astaga Bibi!? Kenapa nggak bil...," Jisoo membuka pintu dengan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Namun ternyata Bibi Ann sudah kepalang kabur duluan untuk mengambil kaos kaki dan dasi milik Jisoo.
Gadis berambut panjang itu pun beranjak menyusul asisten rumah tangganya. Ia berlari menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Sesampainya di lantai bawah, kaos kaki dan dasi miliknya sudah berada di tangan Bibi Ann. "Ini Noona, sekali lagi Bibi minta ma...,"
"Nggak papa." serubut Jisoo seraya meraih dua barang sialan itu dan lantas memakainya. "Lagian bukan sepenuhnya salah Bibi kok. Yaudah deh aku berangkat dulu ya? Udah telat nih!" Jisoo pergi secepat kilat ke arah garasi mobilnya dengan kedua tangan yang masih sibuk merapikan dasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGULARITY
Teen FictionIni tentang seseorang yang hidup, tapi berkali-kali di matikan perasaannya. Yang rautnya bahagia, tapi hatinya selalu terluka karena hal-hal yang ia percaya tidak sesempurna seperti apa yang ia lihat. "Aku sungguh ingin menulis banyak tentangmu, nam...