"Tidak ada jaminan kalau wajah yang senantiasa berseri-seri merupakan simbol kebahagiaan, terkadang ada jiwa sedih yang dapat membunuh lebih cepat daripada sebuah kuman."
•••
ANTRE turun dari pesawat adalah hal yang selalu menyebalkan bagi Seokjin. Ada penumpang yang ingin buru-buru turun, ada juga penumpang yang repot dengan barang bawaannya. Apalagi jika penumpang-penumpang tersebut adalah kaum ibu-ibu. Waduh, riwehnya bukan main. Padahal turun dari pesawat bukanlah hal yang perlu di segerakan seperti naik pesawat.
Untung saja Seokjin sudah melewati masa-masa mengerikan itu. Dan kini dirinya tengah duduk termenung di pelataran kedai kopi langganannya sejak duduk di bangku SMA, sambil menikmati senja yang sudah hilang di balik cakrawala.
Tahu tidak? Hanya dengan melakukan hal sederhana seperti itu saja, hati Seokjin seolah mendapatkan anugerah kedamaian yang luar biasa setelah sebelumnya hampir setiap hari berkutat dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Di negeri orang pula. Fyuh, melelahkan sekaligus membosankan sekali hidupnya.
"Permisi, Kak?" ujar waitters laki-laki seraya memindahkan minuman pesanan Seokjin dari nampan ke atas meja. Hot latte, kopi dengan komposisi yang mampu menyamarkan rasa pahit kopi sesungguhnya.
"Terimakasih, Mas," ucap Seokjin. Waitters tersebut pun mengangguk. "Mari, Kak?" katanya berpamitan.
Asap yang mengepul dari secangkir latte panas di hadapannya seakan menambah antusiasme Seokjin untuk segera meminumnya. Namun laki-laki itu teringat akan sesuatu, ia belum mengaktifkan ponsel semenjak keluar dari area bandara.
Seokjin tidak memberi tahu Jisoo atas kepulangannya. Itu semua bagian dari surprise, hanya Bibi Ann dan Pak Kang yang tahu. Seokjin ingin sekali mengetahui ekspresi adik semata-wayangnya melihat ia pulang secara diam-diam. Tanpa sadar, dirinya pun tersenyum, membayangkannya saja sangat menyerukan.
Beberapa detik berlalu, ponsel canggih itu menyala. Akan tetapi yang mencuri perhatian Seokjin justru notifikasi panggilan tak terjawab dari Jennie yang merupakan salah satu teman dekat Jisoo. Ia mengklik notifikasi tersebut demi melihat detail infonya. Ternyata panggilan tersebut tidak hanya sekali, tapi empat kali.
Akhirnya Seokjin mencoba menghubungi Jennie balik. "Hallo?" sapanya ketika panggilan itu sudah tersambung.
"Kak Jin! Hallo juga! Ada apa ya, Kak? Tumben banget telepon aku?"
Seokjin sedikit mengangkat ponselnya dengan gelagat heran. Bukannya perempuan itu yang lebih dulu menghubunginya? Tapi kenapa sekarang justru ia yang kebingungan?
"Lho, bukannya kamu yang tadi siang telepon Kakak sampai empat kali?"
"Ya Tuhan... maaf, Kak, aku lupa! Duh, aku kok pikun banget, ya?"
Tertawa pelan, Seokjin dibuat greget dengan tingkah laku Jennie yang sebelas-duabelas dengan adiknya. Pelupa.
"Jadi sekarang udah ingat atau belum telepon Kakak mau bilang soal apa?"
Jennie mendesis cukup panjang di ujung sana hingga menimbulkan rasa penasaran yang lebih tinggi lagi bagi Seokjin. "Tadi siang Jisoo pingsan, Kak. Dia...,"
"Apa? Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Emang dia lagi sakit?" Belum sempat Jennie melanjutkan kata-katanya, Seokjin sudah menginterupsi dengan deretan pertanyaan karena saking terkejutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGULARITY
Teen FictionIni tentang seseorang yang hidup, tapi berkali-kali di matikan perasaannya. Yang rautnya bahagia, tapi hatinya selalu terluka karena hal-hal yang ia percaya tidak sesempurna seperti apa yang ia lihat. "Aku sungguh ingin menulis banyak tentangmu, nam...