"Jika aku tidak mengatakannya, bukan berarti aku tidak merasakannya. Aku hanya tak menemukan kata-kata yang lebih besar dari perasaanku. Terkadang aku sendiri pun masih berusaha keras mencari jawaban yang sebenarnya tidak pantas untuk di pertanyakan."
•••
Di depan kelas XI Bahasa 3, terlihat Bu Na sedang mencoret-coret papan tulis dengan sederet angka yang seketika langsung membuat penghuni kelas uring-uringan. Masalahnya adalah; tipe soal yang di tulis itu jauh berbeda dengan materi yang beliau sampaikan satu jam lalu.
Fyuh, selalu saja begitu.
"Ibu kasih waktu dua puluh menit untuk kalian mengerjakan soal yang ada di papan tulis. Setelah itu, Ibu akan menunjuk beberapa murid untuk mengerjakannya di depan. Atau kalau ada yang mau ber-suka-rela menawarkan diri juga akan lebih baik," tegasnya sembari mengambil posisi duduk di kursi guru.
Tahukah kalian? Setiap kata-kata yang di keluarkan oleh Bu Na merupakan perintah mutlak. Jadi mau bernegosiasi dengan cara apapun, tidak akan ada yang berubah. Haechan nampak menghela napas berat. "Mau nyerah boleh nggak sih, Bu?"
"Gimana mau nyerah? Orang mencoba mengerjakan saja belum!"
"Enggak. Maksudnya saya boleh nyerah dalam memperjuangkan Ibu atau nggak? Soalnya Ibu tuh kayaknya susah banget buat di gapai," terang Haechan yang seketika dibalas oleh riuhnya sorakan dari satu kelas.
Kedua bola mata Bu Na memelotot secara hiperbola. "Haechan! Ibu nggak butuh gombalan dari kamu, yang Ibu butuhkan sekarang hanyalah sebuah jawaban yang tepat. Jadi nanti kamu maju, kerjakan nomor satu. Awas saja kalau sampai salah, Ibu akan kasih kalian PR lima belas soal!"
Semua siswa-siswi di kelas menyorot Haechan dengan tatapan penuh amarah. Bisa-bisanya ia masih sempat berbicara omong kosong di saat-saat genting seperti ini. Sementara sang empunta hanya meringis tanpa dosa.
"Lo harus jawab dengan benar, Chan. Nasib kita semua ada di tangan lo!" kecam Lisa sembari menodongkan penggaris besi ke arah Haechan. Kebetulan bangkunya dan bangku laki-laki itu bersebelahan.
"Dih, lo nggak usah mengancam gue kayak gitu, Lis. Masih ada empat nomor lagi tuh! Kalaupun gue jawabnya benar, tapi yang lain jawab salah, tetap aja kita dapat PR!" balas Haechan seraya melirik Bu Na yang sedang fokus membaca buku paket Matematika.
"Lalisa!" Kali ini Lisa yang di panggil oleh Bu Na. "Kamu kerjakan nomor dua nanti!"
"Sekarang nasib kelas kita nggak cuma di gue aja, tapi juga di lo! Mampus!" ejek Haechan seraya menjulurkan lidahnya. Rosè menepuk meja sebanyak tiga kali demi mendapatkan atensi dari Lisa, teman sebangkunya. "Udahlah Lis, cepetan kerjain. Lo mau nambah satu nomor lagi?"
Bibir Lisa memberenggut, dengan perasaan kesal ia mencoba fokus mengerjakan soal meskipun sama sekali tidak ada gambaran akan menggunakan rumus yang mana. Di sisi lain, Jisoo sudah berhasil menjawab nomor satu, dua dan tiga yang membahas tentang Limit Fungsi Al-jabar. Gadis Kim melibas habis tiga soal itu dengan mudah.
Kemudian Jisoo beralih ke nomor empat dan lima. Dahinya sedikit bertaut tatkala rumus yang ia terapkan sepertinya tidak sesuai dengan soal yang di pertanyakan. Sontak gadis Kim menggeleng-gelengkan kepala agar dapat menetralisir rasa gugupnya menghadapi kesulitan pada kedua soal tersebut.
Jeda beberapa menit, akhirnya Jisoo berhasil menemukan titik terang walaupun senyatanya dia tidak yakin kalau ini adalah jawaban yang tepat. Jisoo kemudian melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih ada sepuluh menit sebelum waktu yang diberikan Bu Na benar-benar berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGULARITY
Teen FictionIni tentang seseorang yang hidup, tapi berkali-kali di matikan perasaannya. Yang rautnya bahagia, tapi hatinya selalu terluka karena hal-hal yang ia percaya tidak sesempurna seperti apa yang ia lihat. "Aku sungguh ingin menulis banyak tentangmu, nam...