SINGULARITY 25

314 6 0
                                    

"Terkadang kasih sayang Tuhan itu bukan hanya apa yang di berikan-Nya padamu, melainkan apa yang di singkirkan-Nya darimu."

•••

SEPASANG mata Seokjin yang tadinya tertutup, secara berangsur-angsur kini mulai terbuka. Ia kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling dan sedikit terkejut ketika sadar bahwa tempat ini adalah ruang tidurnya.

Holly shit! Dimana otak para bandit itu? Kenapa mereka mengantarkannya pulang dengan keadaan memprihatinkan semacam ini? Mendadak, rasa pening mendera kepala Seokjin dengan begitu hebat. Argh, kata-kata apa yang harus dia persiapkan jika Jisoo menginterogasinya nanti?

Ceklek.

Mendengarnya, laki-laki Kim lekas menoleh cepat ke sumber suara. Tak berselang lama, sosok wanita purnabaya nampak muncul dari balik pintu kamarnya. "Oma?"

"Ya Tuhan! Syukurlah." Hyeja dengan tergesa-gesa langsung duduk di tepian ranjang kebesaran milik Seokjin, sorot kekhawatiran pun belum hilang dari kedua netranya yang sudah mulai memburam. "Kamu sudah siuman, Nak?"

Seokjin mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Badannya kontan melakukan pergerakan supaya dapat mencapai posisi duduk, bersandar pada headbed. "Aku nggak papa, Oma. Ini cuma insiden kecil, nggak usah cemas." Bohong sekali. Nyatanya dia benar-benar sedang remuk-redam, baik dari segi hati maupun fisik.

"Insiden kecil katamu?" Hyeja menampilkan raut wajah super serius. "Coba ceritakan kepada Oma mengenai insiden kecil itu."

Kerongkongan Seokjin tiba-tiba di landa kekeringan tatkala Hyeja yang justru menggelar sidang, bukan Jisoo. Aish, dia pasti akan lebih kewalahan lagi dalam memberi alibi. Okay, Seokjin. Tenanglah, jangan nervous. "A-a-aku hampir kena copet, Oma. Beruntung aku mencoba melawan jadi dompetku tak sampai mereka rampas. Ya walaupun mukaku yang tampan harus berubah babak bundas kayak gini," ujarnya sambil tertawa hambar.

Alih-alih percaya, Hyeja justru semakin yakin jika Seokjin tengah berdusta kepadanya. Penjelasan yang meluncur dari mulut bocah itu bukanlah cerita sesungguhnya, melainkan sebuah karangan bebas. "Oma tahu persis kalau kamu sudah dewasa. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat; berbohong bukan sesuatu yang mencerminkan kedewasaan, Jin. Apapun alasannya."

Pernyataan sang Nenek berhasil membuatnya mengunci bibir rapat-rapat. Dalam lubuk hati yang paling dalam, Seokjin ingin sekali mengatakan yang sejujurnya mengenai lika-liku percintaannya hingga mengakibatkan tindakan kekerasan yang terjadi hari ini. Namun Seokjin seolah tak sanggup, dia takut orang-orang kesayangannya akan terbebani, padahal masalah itu timbul karena dirinya sendiri yang terlalu plin-plan.

Tunggu... plin-plan? Astaga. Benarkah? Sepertinya tidak.

Pada dasarnya, tujuan Seokjin jatuh cinta itu supaya dia dapat menemukan seseorang yang bisa berbagi dan menambah kebahagiaan dalam hidupnya. Akan tetapi ketika hal tersebut tak pernah berjalan sempurna, lalu untuk apa lagi bertahan? Terkadang kan memang ada sesuatu yang benar-benar tidak bisa di paksakan.

Dan lagi, tak ada manusia yang bisa mengantisipasi perpisahan. Seokjin juga mengakui kalau perpisahan itu sakitnya bukan main. Namun jika di pikir kembali, mengakhiri hubungan yang sudah tidak sehat adalah suatu keputusan paling bijak untuk masing-masing pihak.

Love is hard. Menemukan seseorang yang tepat untuk diri kita itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maka yang harus Seokjin lakukan sekarang adalah meminta maaf dan memaafkan. Ya, itu harus.

Hei! Apa-apaan ini? Mengapa dia merasa ada pisau yang menikam jantungnya secara tiba-tiba? Rongga dadanya terasa sesak. Oh, C'mon! Dia hendak menangis? Tidak. Seokjin tidak boleh menangis. Itu hanya sekadar putus cinta, bukan perkara besar. Tersenyumlah, Jin!

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang