"Jangan terlalu berharap kepada orang lain. Terkadang mereka tak selalu ada ketika kamu butuh, dan kamu harus menjadi pahlawan bagi dirimu sendiri."
•••
WAKTU istirahat pertama sebentar lagi usai. Jisoo berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor hingga tungkai kakinya nyaris patah. Sumpah, di saat seperti inilah terkadang ia ingin mengeluh pada kepala sekolah, mengapa kelas XI Bahasa 3 yang merupakan kelas kebanggaan Jisoo harus berada di paling pojok, sih?
Menyusahkan sekali jadinya.
Ah, iya. Mungkin jurusan bahasa masih terdengar asing di telinga sebagian orang karena sesuai fakta yang beredar bahwa; tidak semua SMA memiliki atau membuka jurusan anti mainstream tersebut.
"Kok masuk bahasa? Kenapa nggak ipa atau ips aja?"
Pertanyaan ini menduduki peringkat pertama dari daftar pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman SMP maupun para tetangga selepas dulu Jisoo pulang mendaftar. Namun gadis Kim hanya bisa menjawabnya dengan senyuman keki.
Jisoo sampai tidak habis pikir pada saat itu, mengapa mindset masyarakat selalu mengunggulkan salah satu jurusan saja, sih? Seolah-olah menganggap jurusan lain itu rendah. Padahal jika Jisoo masuk ke dalam jurusan yang diunggulkan, memang akan menjamin kesuksesan?
Lebih parahnya lagi, jurusan bahasa itu kadang-kadang di juluki sebagai jurusan buangan. Ya meski tidak bisa dipungkiri juga kalau sebenarnya dari 38 siswa di kelas Jisoo, tidak semuanya pure memilih jurusan bahasa. Ada juga yang memilih jurusan bahasa karena tergeser dari jurusan lain.
Tapi kan tetap saja sangat menyebalkan ketika jurusan bahasa mendapat predikat buruk seperti itu. Masih banyak kok yang tulus memilih jurusan bahasa. Contohnya Jisoo.
Jadi ia bukan cap-cip-cup asal pilih jurusan. Semua Jisoo pikirkan matang-matang dan karena kesukaan serta minatnya memang cenderung ke bahasa. Akhirnya ia pun mantap masuk jurusan anti mainstream tersebut.
Namun ada alasan lain yang lebih penting sebenarnya, yaitu tentang Jisoo sendiri. Ia tahu betul bahwa dirinya adalah seorang Eccedentesiast. Manusia yang terbiasa untuk terlihat baik-baik saja dan tidak meminta bantuan orang dalam menghadapi kepedihan hati mereka. Akhirnya mereka juga terbiasa untuk hidup mandiri.
Para Eccedentesiast memilih untuk memecahkan masalahnya berdasarkan jalan mereka sendiri.
Dan setiap kali Jisoo menemukan masalah, ia selalu mencari pelarian dengan cara membaca atau bahkan menulis. Ya... setidaknya ketika Jisoo bersedih tentang suatu hal, lewat menulis akan berguna sekaligus sedikit menghibur dirinya sendiri.
"JISOO-SSI?"
Teriakan seseorang yang memanggil namanya membuat Jisoo mendadak berhenti. Ia merasa tidak asing dengan suara killer itu. "Aish, Bu Na?"
Jisoo merutuki dirinya sendiri ketika selang beberapa detik ia meyakini betul bahwa suara itu memang milik Bu Na, guru matematikanya. Meskipun beliau terbilang masih muda, sekitar umur 30-an, tapi aura killer-nya tidak bisa di anggap remeh.
"Atau gue cuma salah dengar, ya?" Jisoo bergumam demikian. "Ah, pasti gue cuma halu aja!"
"KIM JISOO XI BAHASA 3, NOMOR ABSEN 16!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGULARITY
Teen FictionIni tentang seseorang yang hidup, tapi berkali-kali di matikan perasaannya. Yang rautnya bahagia, tapi hatinya selalu terluka karena hal-hal yang ia percaya tidak sesempurna seperti apa yang ia lihat. "Aku sungguh ingin menulis banyak tentangmu, nam...