PROLOG

9.7K 309 7
                                    

Yogyakarta, 1995

Di serambi masjid Jami' Al-Dalhar, beberapa santri komplek utama Salaf dan Huffadzh 1 tampak sedang berdiskusi dalam sebuah halaqoh kecil.

Sembari menanti masuknya waktu ashar, mereka santai beradu pendapat soal masalah fiqhiyah, yakni hukum pembatasan usia nikah oleh pemerintah.

"Nek menurutku, yo ndak apa-apa. Lagi pula pemerintah, kan emang punya program wajib belajar sembilan tahun," ujar Fahrurozi, santri salaf di komplek pusat pesantren.

"Yo ndak bisa gitu ..." Kafabihi Ahmad tak setuju. Pemuda yang terkenal dengan keilmuan Fiqh-nya di seantero komplek pesantren itu selalu dianggap wajib untuk mengikuti simulasi 'bahtsul masail' sebagai rujukan santri lain.

"Di dalam kitab Tasyri' Al- jana'i juz 1 halaman 254," lanjut Kafabihi Ahmad menerangkan,"Pemerintah ndak boleh secara mutlak membatasi dengan membuat undang undang kecuali dalam dua perkara, pertama dari segi pelaksanaan, seperti harus melalui KUA, yang kedua dari segi penetapan administratifnya, dan di dalamnya hanya membatasi syari'at-syari'at yang umum. Jadi tidak mengatur sesuatu yang tidak dibatasi syari'at islam."

Beberapa santri yang menyimak pun mulai tampak mengangguk-angguk setuju. Tapi tak berselang lama, seseorang dari balik kerumunan ikut berseru.

"Kalau menurut saya boleh."

Sontak saja, semua kepala menengok ke arah sumber suara. Setelah tubuh-tubuh itu tersibak bak tirai, tampaklah seorang pemuda berparas bersih dengan penampilan sederhana tengah mengembangkan senyumnya yang ramah.

"Karena ada maslahat dhoruriyyah yakni pendidikan," sambung pemuda tersebut dengan tenang. Kafabihi menyimak, ia tak mengenali siapa pemuda tersebut. Sepertinya, dia baru pertama ikut diskusi. "Sedangkan menikahkan shogir dan shogiroh hanya maslahat hajatiyyah. Di mana kedudukannya berada di bawahnya."

"Landasan pendapat sampeyan dari mana?" tanya Kafabihi mengejar.

"Dalam ibarat kitab fiqh kontemporer, Fiqhul Islam disebutkan, lakin li daulah taqyidul mubah, bi man iiqotil asjar ilaa akhirihi. Jadi, pemerintah boleh taqyidul mubah, alias membatasi sesuatu yang mubah ketika di situ ada maslahah ammah."

Setelahnya, terjadilah adu pendapat antara Kafabihi yang sedikit konservatif dengan sang pemuda berwajah bersih itu yang sebaliknya, cenderung lebih berpikirian moderat.

Keduanya begitu ngotot dengan pendapatnya masing-masing. Santri-santri lain hanya bisa dibuat takjub dengan keilmuan kedua pemuda itu. Yang satu begitu menguasai ilmu fiqh, sedangkan yang satu lebih ke bidang ushul fiqh-nya.

Hingga tak terasa adzan ashar pun berkumandangan melalui toa di puncak masjid.
Halaqoh di selasar masjid itu pun segera membubarkan diri dan masing-masing menuju ke tempat wudhu.

Kafabihi lantas menyalami pemuda tersebut yang dari tadi sempat beradu pendapat dasyat dengannya.

"Aku Kafabihi dari komplek Sultan Hasanudin." Senyumnya terlontar. Sangat berbanding terbalik dengan sikapnya tadi saat berargumen yang begitu berapi-api.

Senyum itu segera dibalas tak kalah ramah."Aku Badri. Komplek Sunan Kalijaga."

"Sampeyan puasa?" Kafabihi bertanya secara tiba-tiba. Nampaknya ia sudah cukup tahu, jika hari senin, beberapa santri terbiasa puasa Senin-Kamis.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now