Bab 13. Mengeja Surga

1.2K 162 18
                                    

"Lhe, tolong nanti sampah yang di ndalem sekalian dibuang, nggih." Kafa yang sempat menyangka kalau tadi Oza sudah membuangnya cepat-cepat mengangguk pada Bu Nyai Iffah.

"Oh, nggih, Bu,"

Mungkin barusan Bu Nyai Iffah tak sengaja melihat Kafa masih sibuk merapihkan rumput liar serta mengumpulkan beberapa tong sampah di lorong komplek antara Al-Manshuriyyah dan Al-Kandiyas.

Sejak pagi, pemuda berkaos hitam pudar itu cukup sibuk. Mulai dari menguras kamar mandi ndalem, mencuci motor Pak Kyai Busyro, menyiram tanaman hias hingga terakhir membersihkan area komplek.

Awalnya ia tidak sendirian, bersama Oza dan Wisnu, mereka dimintai tolong oleh Bu Nyai Iffah untuk menguras kamar mandi dan mengepel di ndalem.

Sebenarnya pekerjaan tersebut biasa menjadi tugas Kang Rofi'i -meski Kafa sering juga ikut membantunya-, namun kali ini Kang Rofi'i sedang ikut Pak Kyai berbelanja untuk kebutuhan dapur.

"Rajin tenan, Kang," Kafa sedikit terlonjak ketika Mbak Dijah menyapa di belakang punggungnya,  gadis itu menyembul dari dapur ndalem Al-Kandiyas.

Setelah pemuda itu meletakan sebuah tong sampah dari pangkuan, ia menerbitkan senyuman. Bercak-bercak keringat mulai tampak menjejaki kain bajunya yang tipis.

"Wis mau dzuhur belum istirahat, toh?"

"Nanggung, Mbak," balas Kafa yang sekarang menyeka noktah keringat di dahi dengan sudut kaosnya. Terik matahari mulai mendidihkan puncak kepala. Udara terasa ikut menyengat kulit. "Mau ke mana, Mbak Jah?"

"Tumbas bahan masakan," kekeh Mbak Dijah. Gadis manis yang usianya empat tahun lebih tua dari Kafa itu menyambar sebuah sandal jepit di rak. "Jadah manten yang sampeyan kasih kemarin, enak, loh, Kang."

Kafa tersenyum. Seraya merapihkan tong sampah, ia mendongak. "Abis, ndak?"

"Abis, sebagian tak kasih ke temanku."

"Alhamdulillah," gumam Kafa.

Setelah Mbak Dijah pamit dan meniti langkah menjauh, Kafa kembali sibuk memunguti sampah yang seolah tak ada habisnya itu.

Tangannya sudah terbungkus noda, begitu pula kaos dan sarungnya karena tadi ia terpaksa menggendong tong sampah besar itu dari kamar mandi belakang.

Kafa enggan mengeluh, meski pun ia harus melakukannya seorang diri dan tak seorang santri yang berinisiatif membantunya. Itu tak jadi masalah.

Semua ini ia niatkan sebagai jihad bil ilmy, mengagungkan tempat menuntut ilmu serta mengagungkan para ahli ilmu yakni para ustadz dan masyaikh.

Pemuda itu selalu ingat dengan apa yang tertulis di kitab Ta'lim Muta'allim-nya Syeikh Imam Burhanuddin Az-Zarnuji, sebuah kitab fenomenal di kalangan pesantren.

"Ketahuilah, sesungguhnya seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula bermanfaat ilmunya. Kecuali dengan mengagungkan ilmu dan ahli ilmu, mengagungkan gurunya dan menghormatinya"

Terlebih lagi, Kafa tahu, jalan itu juga yang diambil Abahnya. Jalan pengabdian.

Bagi Kafa, Kyai Badri adalah sosok panutan. Meski kesempatan untuk merasakan pendidikan serta kasih sayang Abah terlampau singkat baginya dan juga bagi Kavin, adiknya. Tapi ia selalu bersyukur. Apalagi, bagaimana ia mengenal sosok Abah dari kisah murid-murid dan guru-gurunya itu membuat Kafa semakin bangga memilik ayah sehebat Abahnya.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now