Bab 10. Pendar Rembulan

1.2K 158 5
                                    

Kafa baru saja tiba di parkiran fakultas Ushuluddin, saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Seusai mengaitkan tali kekang sepeda, ia merogoh benda pipih itu dari saku celana. Tercetak nama Oza di sana.

"Halo, Za, ada apa?"

'Kaf, sampeyan di mana?'

"Aku baru sampai parkiran, Za. Ada apa, toh?"

'Bisa tolongin aku, gak?' suara di sebrang sana terdengar panik. Napasnya tersengal.

"Tolongin apa, Za?"

'Aku nabrak orang.'

"Innalillahi wa inna ilahi rooji'uun. Di mana?"

'Di dekat toko kitab Beirut.'

Kafa menghela napas pendek, itu berarti di jalan utama Timoho, masih tak jauh dari lingkungan kampus. Ia dan beberapa mahasiswa Ushuluddin terutama anak tafsir dan hadits, cukup sering membeli kitab di toko tersebut.

"Aku ke sana, Za. Tunggu."

'Matur suwun banget, Kaf'

Setelah menutup telpon, Kafa kembali mengurai tali kekang sepedanya. Jarum di arlojinya menunjukan pukul 07.00, sedangkan kelas studi kitab hadis primer-nya hari ini masuk pukul 07.45. Masih ada waktu empat puluh lima menit, semoga saja urusannya bisa cepat selesai tanpa harus berbelit-belit.

Saat Kafa mengayuh sepedanya, beberapa mahasiswi satu jurusan berpapasan dan saling mengangguk sapa. Sekalipun Kafa begitu ramah, hampir tak ada yang benar-benar berani menggoda atau mendekatinya. Aura wibawa dari pemuda itu benar-benar membuat semua gadis merasa canggung dan diam-diam menaruh kekaguman padanya.

Begitu sampai di sana, tepat di trotoar jalan, Oza segera menyongsong Kafa.
"Ah, alhamdulillah sampeyan datang, Kaf."

"Sampeyan gak opo opo?" tanya Kafa yang segera dibalas gelengan kepala oleh Oza. Kafa lantas memarkirkan sepedanya dulu ke sisi jalan. "Orangnya mana?"

Oza segera menggiring Kafa menuju sebuah warung yang tak jauh dari situ. Di sana, ia bertemu dengan si korban, seorang bapak-bapak yang untungnya tidak apa-apa. Tapi, motor bapak itu tampak rusak, body depannya pecah.

Kafa kemudian bermediasi dengan sopan dan hati-hati. Syukurnya, sang bapak itu juga tak mau memperpanjang masalah, ia cuma minta ganti rugi atas kerusakan motornya. Bahkan agar lebih transparan, mereka sepakat untuk membawa motor itu ke bengkel.

Oza berulang kali minta maaf. Lagi pula, kecelakaan itu murni kesalahannya yang mengambil arus lawan saat menyalip mobil.

Gusti dan Alvin yang beberapa menit lalu masih dalam perjalanan di sekitar Universitas taman siswa, segera menyongsong ketika tiba di bengkel. Ternyata Oza juga menelpon mereka sebelumnya.

"Udah berapa kali dikasih tahu, jangan suka ngebut-ngebut. Ngeyel, sih!" gerutu Alvin, yang masih sepupu dengan Oza.

Setelah pemilik bengkel jasa body repair mengecek kerusakan dan biaya perbaikan seharga 900 ribu. Oza meminta bantuan Alvin. "Vin, aku pinjem uang dulu."

"Lah, kamu masa gak megang uang?"

"Urung kiriman aku, Vin."

Alvin menghela napas. "Aku, yo gak ada. Ada, sih tapi buat bayar asrama."

Hal yang sama juga disampaikan Gusti. Oza jadi terlihat bingung dan gelisah. Kafa lalu menghampirinya dan menanyakan masalahnya.

Setelah menjelaskan, Oza lantas berbisik pada Kafa. "Kalau boleh, pinjem uang sampeyan dulu, aku janji ganti minggu ini, Kaf."

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now