Bab 7. Secercah Cahaya

1.2K 159 9
                                    

"Gimana, Za?" Kafa baru saja turun dari aula lantai dua, dengan mengais laptop dan beberapa kitab hadits.

"Naora masih belom balik pondok, Kaf. Tapi dia udah tanya temennya yang di pondok, katanya, Bu Nyai Fatma udah datang semalam."

Kafa mengangguk perlahan.

"Mau sowan sekarang, aja?" tawar Reza.

"Ramai gak kira-kira?"

"Mbuh. Tapi kalau hari minggu gini biasanya sepi. Pada keluar, kalau nggak, ya pada tidur."

"Ya udah, ayo. Siap-siap dulu," ujar Kafa sebelum lantas bergegas menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

Selang berapa menit kemudian, kedua pemuda itu sudah berjalan menyusuri koridor asrama yang lengang. Kebanyakan santri al-manshuriyyah pada main keluar. Sisanya ada yang tidur di aula.

"Menurutmu, map itu isinya apa, Kaf?" Reza tampaknya masih penasaran dengan isi map itu.

Kafa hanya tersenyum pendek sembari menggeleng.

Langkah kaki mereka sudah sampai di antara beberapa santri putra dengan pakaian rapih yang tengah duduk-duduk di sebelah gedung kopontren, tepatnya di depan aula kantor pesantren.

"Arep podo neng endi e?" Ternyata Haikal, sang lurah santri Al-Manshuriyyah juga di sana.

"Kepo!" Desis Reza.

Haikal hanya tertawa pelan. Setelah sadar jika santri-santri yang duduk di sana itu adalah para lurah santri dari beberapa komplek pesantren, Kafa pun bertanya. "Rapat opo, Cak?"

"Rapat pembentukan panitia buat acara maulid nabi bulan depan, Kaf. "

"Lah, santri putrinya mana?" Reza ikut bertanya sambil pura-pura celingukan.

"Belum pada datang. Rapatnya juga sejam lagi."

"Oalah."

Setelah itu, keduanya kembali melanjutkan perjalanan menuju komplek Sayyida al-hurra. Tepatnya menuju ndalem Bu Nyai Fatma. Seperti beberapa hari lalu, langkah kaki mereka kembali sempat tertambat di depan gapura komplek putri tersebut. Namun kali ini tak begitu lama, dengan sedikit dorongan napas, diiringi bismillah, Kafa memantapkan langkah kakinya.

☘️🌱🍁


"Monggo, masuk, Mas." Seorang santri putri yang tak lain adalah abdi ndalem mempersilahkan Kafa masuk.

Kafa dan Reza yang sudah beberapa menit lalu duduk di kursi teras ndalem, segera beringsut dengan pelan. Namun saat Kafa sudah mulai melangkah, Reza malah kembali memilih duduk. "Sampeyan, aja, Kaf yang masuk, aku nunggu di sini, saja."

Mau tak mau Kafa melangkah sendiri memasuki lawang ndalem. Dengan berjalan sedikit membungkuk ta'dzim, ia sampai di ruang tamu. Awalnya, Kafa mengira ruang tamu ndalem tersebut seperti halnya ruang tamu ndalem para kyai, yang hanya beralaskan karpet bulu tanpa ada kursi atau meja.

Ruang tamu ini seperti halnya ruang tamu rumah pada umumnya. Ada kursi, meja dan rak-rak kaca. Juga sebuah jam digital besar bergambar masjidil harom. Sang abdi ndalem mempersilahkan Kafa duduk, sembari ia menyiapkan sajian.

Kafa duduk dengan perlahan. Diamatinya dinding-dinding ber-cat khaki tersebut dipenuhi kaligrafi-kaligrafi yang indah. Pemuda itu lantas menyiapkan map dalam pelukannya dengan dada sedikit berdebar menunggu kedatangan Bu Nyai Fatma.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now