Bab 8. Titik Terang

1.3K 161 6
                                    

"Ning, sampeyan kalau pakai sarung pripun, sih?" Tsania tengah sibuk memasang sarung bercorak batik di tubuhnya, mau mandi.

"Aku biasanya belah tengah, sih. Jadi lebih leluasa."

"Aku belah pinggir, cuma gak leluasa kalau mau nyuci. Pernah nyoba belah tengah, tapi kok makin melorot terus," kata Tsania pura-pura sebal, "Ajarin, sih."

Keduanya lantas tertawa.

Langit mulai menguning di cakrawala. Dari atas balkon kamar mandi rooftop ini, terlihat pemandangan siluet kubah masjid jami' Al-Dalhar di antara pucuk bangunan komplek Huffadhz 1.

Mereka sekarang sedang mengantri mandi, ada tiga kamar mandi di lantai atas, tapi semuanya penuh. Di sela mengantri, Una menyempatkan membaca novel lamanya. Novel berjudul Sunset Bersama Rosie karya Tere Liye.

Balkon lantai atas adalah tempat favoritnya, di sini sepi karena memang hanya berisi kamar mandi. Tidak hanya karena sepi, tapi juga karena pemandangannya yang indah.

Hatinya selalu merasa tentram ketika melihat langit yang menguning, dan berbagai macam siluet dari kejauhan.
Siluet pegunungan, cerobong asap raksasa sebuah pabrik, menara BTS. Atau bahkan kawanan burung yang migrasi.

Sebelum pukul tiga dini hari, Una biasanya mandi. Setelah mandi, dia akan melaksanakan shalat tahajud dua raka'at di kamar, lantas kembali lagi ke balkon atas untuk nderes.

Sembari menunggu adzan shubuh, sesekali tempat ini ia gunakan sebagai media tafakur;

Menatap angkasa, rembulan, bintang.
Merasakan cara Allah berkomunikasi lewat ciptaan-Nya. Semua kebiasaan itu juga ia niatkan sebagai tirakat agar Allah memudahkannya dalam menghafal dan memahami ayat-ayat-Nya.

Di balkon ini pula Una sering mendengar jelas suara adzan yang merdu, irama yang selalu berhasil membuat hatinya bergemuruh hebat.

Kadang kalau malam Senin, dari sini juga terdengar jelas lantunan Al-Qur'an di masjid, kegiatan sima'an santri Huffadzh 1.

Di lain waktu, tiap malam Jum'at yang terdengar suara qasidah yang indah dari vokalis-vokalis madrasah Huffahdz 1.

Dan salah satu suara yang sering membuat hatinya terenyuh haru adalah suara yang Naora sebut sebagai suaranya Gus Anam, yang syahdu itu.

"Iq masih lama, gak?!" Tsania menggedor salah satu pintu kamar mandi, yang langsung dibalas sahutan dari dalam. "Tiga menit lagi, Tsan!"

"Yang dua lagi ini siapa, ya, Ning?" tanya Tsania.

"Ning Farida sama Gista."

"Naora belum balik lagi, Ning?"

"Udah, kok. Barusan baru sampai. Paling bentar lagi juga ke sini ngantri mandi."

Begitu Una menjawab, tak lama terdengar suara hentakan di tangga, langkahnya begitu tergesa. Keduanya langsung tahu kalau itu pasti Naora.

"Helo gays. Pasti udah pada kangen sama aku." Naora muncul dengan handuk terlilit di kepala. Ia menaruh gayung berisi peralatan mandinya di belakang gayung Una, lalu ikut gabung ke balkon.

"Pede abis," celetuk Una yang disambut senyuman tipis Tsania.

"Bawa oleh-oleh gak?" Tanya Una lagi.

"Bawa, dungs."

"Jenang?" Kali Una harap-harap.

Naora tidak langsung menjawab, justru mengulum senyum lebih dulu. "Yakali nggak bawa, makanan favorit Bu Nyai Una."

Una terkekeh.

"Betewe, gimana pas itu acaranya, Mbak Na?"

"Acara apa?"

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now