Bab 2. Anak Rembulan

2.1K 203 7
                                    

وَالتُرْبُ كَالتُرْبِ مُلْقًى فِي أَمَاكِنِهِ

Biji emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).

(Diwan al-Imam asy-Syafi'i)

🌱🍀🍂

Pukul enam pagi, ustadz Irhaz mengisi ngaji bandongan kitab hadits di komplek Al-Manshuriyyah.

Para santri yang terbagi menjadi dua baris memanjang, tampak khusyuk menyimak pengajian tersebut.

Percikan sinar mentari pecah dari celah-celah ventilasi jendela aula di lantai dua. Sesekali terdengar cuitan burung kenari peliharaannya kyai Busyro di bawah sana.

"Wa kaana ajwadu maa yakunu fii romadhona," ucap ustadz muda itu menerangkan hadits riwayat Ibnu Abbas dalam Shohih Al-Bukhori. "Beliau, Rasulullah saw itu kondisi paling dermawan adalah pada saat di bulan Ramadhan."

Para santri menyimak, kecuali beberapa santri di baris belakang yang justru menguap. Cukup dengan sudut bola matanya, sang ustad menangkap sosok Reza yang tengah terkantuk-kantuk menyangga dagunya.

"Kira-kira kenapa lafadz 'ajwad' dibaca rofa, Reza?"

Para santri sontak saja memutar kepala mereka ke arah belakang.

"Za!" Haikal menepuk pelan pundak Reza, hingga Reza sedikit terkesiap.

"Piye, Za? tanya Ustadz Irhaz lagi."Kenapa lafadz 'ajwad' di hadits tadi dibaca rofa'?

Dengan mata merah dan mimik muka bingung, menyapu pandang ke sekitar. Reza menggaruk rambutnya yang tak gatal sambil nyengir.

Idham dan Gusti cengengesan di pojok belakang. "Rasakno koe, Za. Bangun-bangun udah di Arab."

Ustadz Irhaz tersenyum kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Moso gak tahu, Za. Udah berapa tahun ngaji."

Reza terlihat salah tingkah mengusap tengkuknya.

"Kalau ngaji cuma pas bab muqoddimah terus sih, ya, Za?" gurau Ustadz Irhaz dengan retoris.

Para santri tertawa.

"Lumayan katanya Pak, biar kalau pidato di kampung, muqoddimah-nya bervariasi. Iyo gak, Za?" celetuk Idham yang kembali membuat teman-temannya tertawa pelan.

"Ngawur!" Reza pura-pura bersungut.

"Yo wis, apik, ada yang masih bisa diamalkan," kata Ustadz Irhaz.
Ia membuka lembaran kitabnya lagi, tapi tak lama kemudian tangannya terhenti, dan kembali mendongak." Ya sudah, sekarang siapa yang tahu dan bisa memberi alasan kenapa lafadz 'ajwad' dibaca rofa'?

Hening. Para santri saling tengok satu sama lain.

Idham menepuk punggung Haikal, mendesis. "Ayo, Cak, jangan pura-pura ndak tahu."

Haikal sang lurah santri hanya menahan senyum geli.

"Kafa mana Kafa?" panggil Ustadz Irhaz tiba-tiba, mengedarkan retina matanya.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now