Bab 17. Buah Bibir

1.8K 150 34
                                    

Siang itu, selepas menunaikan shalat Dzuhur berjama'ah di gedung laboratorium agama, Kafa bergegas menuju gedung perpustakaan.

Sesekali ia mengedarkan pandangannya. Entahlah, apakah untuk ke sekian kalinya ia berharap untuk sekedar berapapasan dengan gadis itu.

Gadis yang berpendar bak rembulan.

Langkah pemuda berkemeja hitam itu meniti underpass yang menghubungkan tempat parkir di Fakultas Dakwah dengan Masjid Laboratorium Agama.

Terowongan bawah tanah berbentuk persegi panjang itu cukup gelap, tapi tetap menjadi pilihan utama mahasiswa daripada harus melintasi jalan Aipda Tut Harsono. Jalanan besar yang membelah kampus  menjadi dua bagian itu tak pernah sepi dari lalu lalang kendaraan.

Begitu keluar dari terowongan, matanya terpicing ketika pemandangan langit siang yang cemerlang segera menyonsongnya. Pohon-pohon tumbuh terawat di atas rerumputan hijau yang terpangkas rapi.

Di beberapa sudut kampus, pohon-pohon tumbuh lebih lebat dan rindang. Menjadi spot favorit bagi mahasiswa untuk nongkrong.

Arina, teman mata kuliah Madzahib Al-Hadis-nya mungkin sudah menunggu di sana. Rencananya mereka hendak menyelesaikan tugas makalah untuk presentasi besok. Gara-garanya, Fadil, salah satu anggota kelompok mereka terlambat menyerahkan tugas bagiannya. Ia seolah lenyap begitu saja ditelan bumi.

Langkah Kafa terhenti ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan muncul. Tercetak nama Reza di sana.

Kaf, posisi?

-Reza-

Dengan perlahan Kafa menyentuh layar ponselnya.

Mau ke perpus. Ada apa, Za?

-Kafa-

Pesan balasan kembali datang seiring langkah Kafa menyusuri parkiran, di antara lalu lalang mahasiswa.

Sampeyan kalau gak salah punya buku terjemahan karya Kahlil Gibran, toh?

-Reza-

Iya, Za. Kenapa?

-Kafa-

Ada temanku yang mau pinjem buat tugas kuliah, Kaf. Sekarang dibawa gak?

-Reza-

Sebenarnya, Kafa belum sempat menuntaskan buku itu. Kesibukan di kampus dan di pondok memaksa buku itu dibacanya saat luang saja. Seperti sekarang, jika tak ada janji dengan Arina, mungkin Kafa akan memilih bersantai di selasar laboratorium agama sembari melanjutkan bacaannya.

Aku bawa, Za. Ke sini, aja.

-Kafa-

Setelah Kafa mengiyakan, ia kembali melangkah pelan melewati parkiran Fakultas Ushuluddin hingga tiba di gedung perpustakaan. Selesai mengantri dan melakukan scan barcode pada Kartu Tanda Mahasiswa, ia menaruh ranselnya di loker. Pemuda itu segera naik ke lantai dua dan tak berselang lama melihat dua orang gadis telah menunggu di meja yang dimaksud. Salah seorang dari mereka segera membalas anggukan ramahnya.

"Maaf, nggih. Udah lama?"

Arina menggeleng. Bibirnya melengkung. Gadis berwajah ayu itu lantas memperhatikan Kafa mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now