Engkau adalah sajak indah yang dibacakan pada diriku yang buta aksara.
Keindahanmu tak mampu kutulis. Tak sanggup kueja. Namun mengikis dan mendera jiwa.
Siapakah engkau wahai pemilik wajah bak bulan purnama?
Rabu sore di Komplek Al Manshuriyyah
Mungkin itu menjadi sajak ke-sekian yang Kafa tulis di buku binder-nya. Terdengar pemuda itu menghela napas. Bayangan wajah gadis itu bak lebah yang berpilin di kepalanya, berdengung memenuhi rongga tubuh lantas menyengat hatinya hingga perih.
Meski di saat yang sama, bayangan itu juga mengendap bagai madu yang sesekali menuangkan lengkungan manis di sudut bibir.
Kafa tak sanggup lagi menepis kenyataan bahwa gadis itu-dengan segala keindahan paras dan pribadinya-telah berhasil menyita hatinya.
Sebuah perasaan yang terasa asing. Perasaan yang tak pernah ia alami selama hidupnya.
Namun, sekali pun perasaan itu bersemai seiring waktu, Kafa masih berhasil mengendalikan dirinya agar tak terjerembab dalam nafsu. Ia akan selalu ingat kewajiban tubuh dan pikirannya saat ini hanyalah menuntut ilmu.
Meski sesak, bagi Kafa, satu-satunya cara agar hasrat itu tak bermekaran adalah dengan tidak mencari tahu siapa identitas gadis tersebut.
Untuk saat ini, tak mengenalnya adalah pilihan paling tepat. Biarlah gadis itu cukup ia dekap dalam sajak dan do'a-do'a.
Kafa sebenarnya tak keberatan untuk mengenal gadis-gadis di kampus atau pesantren, terlebih jika memang keadaan mengharuskannya. Tapi, gadis satu ini beda lagi. Ia tidak bisa disamakan dengan Bilqis Naufi atau pun Naora.
Ia berbeda atau lebih tepatnya perasaan Kafa pada gadis itu yang membuatnya berbeda. Mengenalnya lebih dekat sama saja melepas kendali dan membiarkan hati dan akalnya jatuh lebih jauh. Dan jika itu terjadi, Kafa baru akan sadar saat dia sudah tersungkur dalam fitnah dan nafsu.
Lagi pula sampai saat ini belum ada keadaan yang mengharuskannya untuk mengenal sang gadis.
Sore itu setelah menunaikan shalat ashar berjama'ah yang dipimpin K.H Hanan Dalhar Al-Hafidzh, Kafa segera menuju gedung komplek Madrasah Aliyah untuk mengikuti technical meeting para pelatih atau tentor MQK.
Saat melewati gapura komplek Sayyida Al-Hurra, Kafa mendadak teringat soal Ning Una. Lurah komplek Sayyida Al-Hurra tersebut menjadi tentor kitab Fathul Qorib, artinya, mereka akan sama-sama memegang cabang kitab Fiqh.
Ah, Sejujurnya bukan sosok Ning Una yang kemudian berkelebat dalam kepalanya. Sudah lama rasa penasaran pada putri dari K.H Kafabihi Ahmad itu sirna sejak ia bertemu dengan Sang gadis yang berpendar bak rembulan. Gadis yang bagi Kafa, akhlak dan parasnya mungkin tak kalah jika dibandingkan dengan Sang bidadari Al-Dalhar yang terkenal itu.
Kini Kafa tak bisa berbohong jika secercah harapan tumbuh di hatinya. Mendengar jika ada beberapa santriwati Sayyida Al-Hurra selain Ning Una yang juga ikut menjadi tentor, bisa saja gadis itu juga terpilih, dan ada di antara mereka.
Kafa mengehela napas. Berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu dan kembali meluruskan niat.
"Ya Allah, jauhkan aku dari angan yang semu. Jauhkanlah hatiku dari berharap pada manusia. Jika dia baik untukku, maka biarkanlah aku hanya berharap pada-Mu, saja. Jika dia tidak baik untukku, maka cabutlah segala harapan dan angan yang tumbuh untuknya."
Kafa mungkin tak meyangka jika isyarat jawaban atas do'anya itu akan segera datang dalam beberapa jam lagi.
🌸🌺🌷🥀
YOU ARE READING
NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening
Ficção Geral(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki iman," ucap Tsania. "Aku percaya.Tapi, bukankah iman lebih baik tetap di hati? Benamkan di tempat terdalam hingga ia menjelma akar-akar yang me...