Selepas dzuhur dari lantai tiga masjid jami' Al-Dalhar, Kafa bisa melihat gedung bercat merah muda itu mencuat di antara bangunan komplek lain; puncak gedung Sayyida Al-Hurra.
Salah satu gedung tertinggi. Para bidadari dunia bersemayam di sana. Dalam singgasana kemuliaan, terjaga oleh ayat-ayat Tuhan yang penuh rahasia.
Para penghafal Al-qur'an adalah Ahlullah, keluarganya Allah di dunia.
Kafa teringat petikan hadis qudsi riwayat Imam Bukhori, Allah SWT berfirman: 'Siapa saja yang menyakiti wali-Ku, maka ia telah mengumumkan perang terhadap-Ku.'
Celaka, lah kau Kafa!
Pemuda itu tak henti bertaubat, menggumamkan istighfar. Sungguh ia begitu menyesal. Nafsu amarah telah menjerat hatinya hingga lisannya mengucapkan sesuatu yang tak pantas.
Kafa menahan napas dalam-dalam. Kata-kata yang ia ucapkan kemarin pada kedua teman Ning Una begitu buruk. Bagaimana bisa Kafa menuduh Ning Una seperti itu? Bahkan sampai membawa embel-embel putri kyai besar segala.
Ya Allah.
Manusia macam apa kau Kafa! Siapa yang mengajarimu seperti itu?! Picik sekali hatimu, dangkal nian pikiranmu sampai tega menuduh gadis sebaik dia, yang di darahnya mengalir darah kyai dan para wali Allah, yang dalam hatinya tersimpan rapat ayat-ayat Allah.
Hanya karena Ning Una acuh dan seolah tak peduli denganmu?! Lagi pula, bisa saja memang dia bersikap demikian pada semua lawan jenis! Ya Allah, bukan kah memang seperti itu perempuan baik baik ketika bersikap?!
Kafa menunduk. Merasakan napasnya tercekat saat membayangkan kejadian malam selepas acara maulid nabi saw itu. Ketika kyai Kafabihi Ahmad meraih bahunya, lantas berkata, "Ngajine sing sregep, yo, lhe. Biar jadi orang hebat kayak abahmu."
Kafa tak menyangka jika kyai besar itu mengenal abahnya. Ia tak tahu seberapa dekat mereka dulu hingga beliau mengatakan abahnya sebagai orang yang hebat.
Kini, Kafa merasa semakin malu. Bagaimana bisa Kafa menuduh Ning Una, putri dari kyai yang tawadhu' itu sebagai gadis yang sombong? Ya Allah, Lancang sekali mulutmu Kafa!
Semalam, saat Kafa hendak melewati ndalem Bu Nyai Fatma, ia tak henti memikirkan Una dan merasa begitu bersalah padanya.
Tiba-tiba, sebuah keajaiban datang. Kafa kaget saat melihat Ning Una sendirian berdiri di luar ndalem. Saat gadis itu mendongak, Kafa meneguhkan keberanian untuk menyapa gadis itu untuk sekedar mencari tahu reaksinya.
Apakah Zahieq dan Naora memberi tahu ucapan Kafa kemarin pada Ning Una?
Di luar dugaan, reaksi gadis itu tak berubah. Kafa sedikit lega. Itu bisa saja berarti, Una tak tahu Kafa mengatakan sesuatu tentangnya.
Namun, tetap saja rasa bersalah itu mendera dirinya. Meski begitu, ia bingung bagaimana caranya meminta maaf, jika Una saja belum tahu apa-apa mengenai ucapan itu.
"Mas Kafa?"
Lamunan Kafa koyak seketika saat seseorang menyentuh bahunya dari arah belakang.
"Loh, Gus, ada apa?"
Gus Ula, putra bungsu kyai Zainal, pimpinan madrasah salafiyah atau komplek salaf tersenyum ramah.
"Besok jadi, kan kita diskusi sekalian unboxing paket dari Mesir?"
Kafa buru buru mengangguk. Ia teringat, keduanya sudah janjian untuk diskusi sekalian mengecek paket berisi kitab-kitab hadis dan fiqh yang dikirim Gus Dzakwan dari Mesir.
YOU ARE READING
NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening
General Fiction(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki iman," ucap Tsania. "Aku percaya.Tapi, bukankah iman lebih baik tetap di hati? Benamkan di tempat terdalam hingga ia menjelma akar-akar yang me...