Bab 22. Hati Yang Tergores

1.1K 128 95
                                    

"Naora dan Zahieq katanya mau ke sini."

Kepala Idham dan Kafa mendongak bersamaan. Suara dentingan terdengar saat Reza menaruh cangkir kopinya di atas meja. "Mereka ada keperluan sama sampeyan, Kaf," tambah Reza.

"Keperluan opo, Kaf?"

Kafa hanya menggeleng pada Idham.

Ketiga pemuda itu tengah nongkrong bersama di kantin fakultas syariah dan hukum. Langit biru membentang, cuaca cukup terik. Banyak mahasiswa meneduh di kantin, juga di bawah rimbun pepohonan.

"Gak ikut bakar-bakar ban di kampus timur, Kaf?" gumam Idham seraya menghisap rokoknya yang tinggal separo.

Kafa hanya menyeringai.

"Masalah UKT lagi, ya?" timpal Reza.

"Mbuh."

Tak berselang lama, Naora dan Zahieq menyapa mereka dari kejauhan, lantas izin duduk bergabung.

"Aku kira kamu gak ngampus, Za. Soale tadi katanya, Akmal dititipin absen sama kamu," ujar Naora begitu selesai memesan soda gembira untuk dirinya dan Zahieq.

"Sengaja pengen masuk agak siangan, Ra."

Naora hanya berdecak.

Idham yang biasanya banyak omong, kali ini lebih sering menatap layar ponsel. Meski sesekali ia melirik Naora, gadis berwajah oriental itu mengenakan pashimna berwarna pastel, dengan kemeja flanel dipadu rok span dan sneakers putih. Benar-benar spek selebgram.

"Tumben Mas Kafa di sini, biasanya kalau gak nongkrong di lab agama, ya di perpus bareng Mbak Bilqis."

"Hush!" desis Zahieq pada Naora. Idham dan Reza tertawa, sementara Kafa hanya menghela napas panjang. Pemuda itu dari tadi sibuk menghadapi laptopnya.

"Oh, iya katanya tadi kamu ada keperluan sama Kafa, Ra?" tanya Reza to the point.

"Bukan aku, ini, loh Zahieq."

Kafa akhirnya mengatupkan laptopnya dan mendongak. "Keperluan nopo, Mbak Zahieq?"

"Eh, ini, Mas. Mau tolong minta dijelasin terkait salah satu bab di kitab ini," jawab Zahieq segera menyodorkan kitabnya ke depan Kafa.

Kafa tak langsung meraih kitab tersebut. "Padahal besok sore, kan juga ketemu di kelas, Mbak."

"Mungkin biar makin sering ketemu sampeyan, Mas," celetuk Naora membuat Zahieq menoyor bahunya seketika.

"Ya Allah fitnah! Jangan didengerin, Mas. Naora emang tukang hoax."

"Cocote, eh astaghfirullah," sahut Naora menutup mulutnya. Di sebelahnya, Zahieq menahan tawa.

Setelah tersenyum tipis, Kafa kemudian meraih kitab tersebut. Hanya beberapa detik, pemuda itu kembali mendongak. "Ini kitab Fathul Qorib, kan. Bukannya sampeyan ngajar kitab Akhlaq lil banaat?"

Raut wajah Zahieq panik.

"Soalnya Zahieq ini cuma disuruh sama Mbak Una," timpal Naora enteng, spontan Zahieq terbelalak dan menginjak kaki Naora.

"Ra!!" Matanya melotot.

"Astaghfirullah. Lupa, Iq."

Terlambat, Kafa kini sudah meminta Zahieq menjunjukan fasal yang dimaksud. Selagi mengamati tulisan arab tersebut, Kafa tiba-tiba bertanya pelan. "Kenapa ndak Ning Una-nya langsung yang datang ke saya? Bukannya tiap hari juga satu ruang kelas sama saya."

Naora melirik Zahieq, namun gadis itu hanya mengedikan bahu.

"Dia emang jarang bisa ngobrol sama orang asing," cetus Naora sekenanya.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now