Surabaya, Pesantren Bahrul Falah.
Ketukan sepatu itu memantul sepanjang koridor kelas XII Agama A. Meski berbalut rok abu-abu panjang, gerakannya menaiki tangga tetap lah gesit. Langkahnya melesat bak Buroq.
"Ups! Sorry, Tante." Ia meringis sekenanya saat bahunya tak sengaja menyambar seorang gadis yang baru keluar dari kelas XII IPS. Sambil mengelus dada, gadis yang dipanggil 'tante' itu menjerit. "Ih, Cempe ngagetin, aja!"
Di balkon lantai dua gedung Madrasah Aliyyah PI (Putri) itu, para siswi dari beberapa kelas tampak berkerumun. Suara desas-desus menggulung udara bak tawon.
Gadis bertubuh ramping yang diberi laqob atau julukan Cempe (anak kambing) tiba, dan dengan rusuh bin bar-bar membelah kerumunan.
"Arek iki ancene nggapleki," protes seorang temannya yang hanya dihadiahi tawa 'kambing' oleh gadis itu.
"Udah pada keluar, Dot?"
"Belum, Rin."
Siswi-siswi yang awalnya terdengar saling berceloteh sembari mengawasi gedung di seberangnya, yang tak lain adalah gedung PA (putra) itu mulai heboh saat melihat ada satu kelas yang baru saja bubar.
"Kelas apa itu, Rek?"
"Kelas 12 IPS B!"
Setelahnya, begitu siswa-siwa putra itu berhamburan dari dalam gedung, para siswi itu sibuk mencari crush-nya masing-masing.
"Ih, Taqy ganteng banget!"
"Itu yang sama Taqy siapa, Da ?"
"Aufa."
"Boleh, lah dipepet."
"Ngawur! Dia pacarnya Qonita, anak kelas dua IPA, Rek."
Di antara bisikan-bisikan itu, gadis ayu berjuluk Cempe itu memilih memusatkan ekor matanya pada seorang siswa yang baru saja keluar dengan temannya.
"Ilyas dicariin Cempe! Eh, Nisrin!" teriak Sedot tiba-tiba. Sontak saja Nisrin kaget dan menyenggol kuat-kuat bahunya.
"Cieeeee Cempe!!!"
"Aseeek!"
Pipi Nisrin mendadak bersemu merah, apalagi saat dilihatnya para siswa putra di bawah sana jadi ikut menggoda cowok bernama Ilyas itu. Uh, rasanya pengen loncat, aja.
Di saat mereka masih asyik menggoda Nisrin, seorang anak berseru tertahan dari arah belakang.
"Huushh!!! Ada Ning Biha!"
Sontak saja kegaduhan itu menguap seketika, beberapa siswi dengan panik lari menuruni tangga. Nisrin dan sisanya membeku di tempat, sia-sia, Ning Biha sudah berjalan ke arah mereka.
"Hayo, lagi pada ngapain?"
"Eh, lagi ... Ngobrol-ngobrol, aja, Bu," ucap Sedot terbata-bata.
"Bentar lagi adzan dzuhur mending kalian siap-siap," balas Ning Biha setelah menyeringai.
"Nggih, Bu."
Seusai para siswi itu pamit menundukkan kepala dan mulai melangkah pergi, Ning Biha menghentikan langkah Nisrin.
"Rin, ikut sama Mbak bentar, nggih."
"Eh, ada apa, Mbak?"
"Ikut, aja."
Nisrin dengan tampang cengo hanya mengekor langkah perempuan berbaju batik tersebut.
Jantungnya mulai kebat-kebit begitu isi kepalanya jauh menerawang.
YOU ARE READING
NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening
General Fiction(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki iman," ucap Tsania. "Aku percaya.Tapi, bukankah iman lebih baik tetap di hati? Benamkan di tempat terdalam hingga ia menjelma akar-akar yang me...