Sembari menerawang ke arah langit dari balik jendela, Bu Nyai Fatma menggamit erat ponselnya, sesekali matanya jatuh pada layarnya, binar mata harap-harap cemas menguar.
Perempuan berusia separuh baya itu tak pernah se-antusias ini. Seolah sebentar lagi harapannya akan bertaut. Kebahagiannya lekas tergenapi.
Sejak suaminya, Pak Kyai Fardan wafat, air mata rasanya sudah kering. Hatinya mengebal bak baja. Kesedihan berlalu berganti tekad kuat untuk meneruskan perjuangan suaminya mengabdi di pesantren.
Bu nyai Fatma lantas mendirikan komplek Sayyida Al-Hurra, komplek Tahfidhz putri di pusat pesantren. Salah satu komplek di pesantren Al-Dalhar yang perkembangannya paling pesat. Metode hafalannya paling efektif.
Sedang komplek Salaf yang dulu dipimpin oleh Kyai Fardan dilanjutkan oleh kakak dari Bu Nyai Fatma yakni Kyai Zainal.
Meski begitu, suksesor Kyai Fardan yang sesungguhnya adalah Dzakwan, anak pertamanya, yang sekarang sedang menyelesaikan Strata 2-nya di Al-Azhar Universiy, Mesir.
Bu Nyai Fatma menarik napas. Semua ingatan itu perlahan menyergapnya. Ingatan tentang kebersamaan antara Badri, Kafabihi dan Abah di aula komplek.
Tiba-tiba ponsel dalam genggaman Bu Nyai Fatma itu bergetar. Sebuah panggilan telfon baru saja masuk. Tercetak di sana, Kang Mas Kafabihi Ahmad.
"Assalaamu a'laikum." suara berat di seberang sana terdengar.
"Waa'alaikumus salaam."
"Nyuwun sewu, aku baru buka hape. Baru pulang dari kampus. Enten nopo, nggih?"
"Aku mau ngasih kabar, Mas."
"Kabar apa, Ning?"
"Aku udah ketemu."
"Ketemu sinten?"
Bu Nyai Fatma tersenyum, tampak tak sabar mengucapkannya. "Ketemu Abdullah Kafabihi. Putranya Mas Badri."
Beberapa detik berlalu, dan tak terdengar tanggapan apapun di seberang sana. Bu Nyai yakin Pak Kyai Kafabihi itu mungkin telah kehilangan kata-katanya saking kagetnya.
"Di komplek mana dia, Ning?" Kalimat itu seolah diucapkan dengan nada sedikit tercekat. Terdengar antusias di saat yang sama.
"Komplek, Al-Manshuriyyah, Mas."
"Gus Busyro?"
"Nggih."
"Alhamdulillah."
🌺🥀🍀
Una menghela napas cukup dalam. Rongga dadanya terasa sesak dipenuhi udara. Kepalanya terasa pening serta pikirannya mengelana, menciptakan banyak cabang.Suara lantunan sima'an Al-Qur'an dari komplek Tahfidzh Asiyyah masih melangit. Lantas pecah di udara, membanjiri seluruh permukaan atap pesantren yang tergenang sisa cahaya matahari.
Sebentar lagi waktu dzuhur tiba.
Awan-awan perlahan berarak, semburat hujan tampak erat terikat. Tinggal menanti detik sampai satu tetes noktah berdetak di bumi.
Gadis itu sudah menutup mushaf Al-Qur'annya beberapa menit lalu. Bibir tipis merah mudanya tak lagi bergumam.
Ia teringat dengan secarik kertas yang terselip diantara halaman kitab Mafatih Al-Ghoib yang baru dikembalikan Gus Anam kemarin sore begitu berakhir kelas terakhir di hari Sabtu.
YOU ARE READING
NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening
General Fiction(ON GOING) "Ning, rasa cinta adalah hal yang ghaib, jika gak mempercayainya berarti sampeyan gak memiliki iman," ucap Tsania. "Aku percaya.Tapi, bukankah iman lebih baik tetap di hati? Benamkan di tempat terdalam hingga ia menjelma akar-akar yang me...