asik udah ending. btw, chapter ini panjang bgt. aku harap kamu bacanya pelan-pelan aja, ya? biar alurnya nyampe sama biar gak bingung aja nanti. bacanya kalo ada waktu senggang aja. tengkyu, have a nice day! ( ◜‿◝ )♡
××
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah menyimpan ponselnya di saku jaket denim, Byanel menghela napas panjang. Sorotnya sendu, menatap Tondi dari kejauhan yang sedang duduk di kantin. Bersama Reya. Tanpa Revan.
Dadanya terasa sesak, ia mencoba untuk tidak berpikiran negatif. Namun hatinya benar-benar sakit. Lagi pula, kenapa Tondi harus berbohong?
Puk!
Byanel terkejut lalu menoleh ke belakang. Abintara baru saja menepuk pundaknya, kemudian mengikuti arah pandang Byanel barusan.
"Mereka gak ada hubungan apa-apa, jangan khawatir," ucapnya sambil mengulas senyum untuk Byan. "Atau mau gue panggil?"
"Eh-- jangan, gak usah Kak Abin. Ke sini cuma mau ngasih flashdisk punya kak Revan. Kata bang Tondi dia ada di kantin, tapi dari tadi gue gak liat."
Abin sedikit mengerutkan alisnya. "Revan? Dia emang ada di kantin tadi, mungkin pas lu dateng dia pergi."
Karena melihat Byanel hanya diam dan menunduk, Abin merangkulnya. "Mau dititipin ke Mas Abin aja gak?" godanya sambil menaik turunkan alis. Hal itu justru membuat Byanel terkekeh.
"Boleh nih, Mas. Sekalian bilang ke kak Revan, makasih."
"Yosh! Pesan adinda akan segera kakanda sampaikan pada babu kerajaan itu."
"Hahaha! Males banget anjir adinda."
"Meskipun lu cowok, tapi lu lebih manis dari cewek."
Abintara tertawa, kemudian mengusak rambut Byanel dengan gemas. "Berhubung lu udah gue anggep adik. Jadi, rasa sayang ke adik di rumah sama ke elu itu sama rata. Kalau gue naksir lu, bisa-bisa gue di bakar sama Tondi. Ogah banget."
Benar, setiap kali Abin melihat Byanel. Ia teringat dengan adiknya yang ada di Bekasi. Fyi, di Bandung ia tinggal di apartement milik sang Ayah.
