1. KABUR DARI RUMAH

202 4 0
                                    

Pertengkaran dengan orang tuaku karena menolak di nikahkan kepada supir yang sudah punya istri, membuat aku bertekad hengkang dari kampungku.

"Inaaaaaa.....kau melawan Bapak ya" teriak Ayahku.

"Bukan melawan pak. Ina belum mau menikah. Aku gak mau dinikahkan karena bapak merasa tidak mampu menghidupi keluarga bapak hanya karena alasan membantu keluarga"

"Dia punya uang, punya truck apalagi yang kau pikirkan hahh?"

"Tega Bapak menjual Quina pak? Hanya karena kita miskin? . Banyak yang lebih miskin dari kita tapi tidak mengorbankan harga diri pak" air mataku mengalir deras.

"Kau bisa mencari jodohmu hahh? coba, sudah satu tahun kau menganggur. Berteman sama pemuda pemuda yang tidak tau juntrungannya, mau jadi apa kau"

"Pak, udah pak. Biarkan Ina menentukan jodohnya"ibuku membela aku.

"Kau juga, tidak bisa membantu. Ngumpani anak sudah besar seperti anakmu itu, apa tidak malu kau ma"

"Kenap emangnya. Toh kita tidak merugikan siapa siapa'

"Betul. Tidak merugikan siapa siapa. Maluuuuu....anak gak tau diri. Semua ditolak. Adin Kantor desa ditolak karena tidak tampan, Anaknya pak Burhan sinorang kaya, ditolak hanya karena matanya jereng. Mau pria yang gimana lagi yang dia mau? Yang tamapan tapi misakin juga, mau dikemanakan keluarga kita?"

"Ina belum mau menikah Pak"

"Lihat adek adekmu. Makan, uang sekolah, uang ini, uang itu..." Bapakku duduk dilantai tanah rumah kami dan memegang kepanya.

"Ina juga mau bantu Bapak." Masih dalam tangisku. Kuusap air mataku. "Ina mau kerja pak. Ina akan pergi dari desa ini"

"Mau kemana? Kamu pikir segampang itu cari kerja?. Nikah. Itu yang paling baik."

"Paaaaaak. Aku mohon. Jangan pakasa Ina untuk menikah."

"Tidak bisa. Bapak sudah terlanjur menerima pinangan Widodo. Dan Bapak sudah menerima uangnya"

"Paaaakkk....tega Bapak menjual Ina" aku semakin menangis.

Ibuku hanya memandangi aku dalam tangisnya.

Pagi berganti siang, dan Siang dijput malam.

Malam itu dalam tangis yang belum reda, karena besok Widodo supir sekaligus pemilik 3 buah truck pengangkut hasil desa kami ke kota, maka aku mengemasi baju baju yang layak pakai, kumasukkan dalam bekas tas sekolahku.

Tekadku sudah bulat, aku akan pergi, kemana saja.

"Inaaaa...kenapa kau nangis. Datang datang sedih gini. Ada apa" Tia memelukku dan memegang bahuku dengan tatapan kasihan.

"Tia, aku dipaksa nikah sama Bapakku"

"Nikah? Sama siapa?"

"Widodo"

Pak Widodo? Dia kan sudah punya istri. Tega benar Bapakmu, Na"

"Besok dia akan datang mau melamar"

"Haaaahh...istrinya dikemanain? Apa dia setuju suaminya kawin lagi. Bejad bener itu laki laki."
Aku semakin menangis. Tak kuat rasanya menahan kesedihanku.

"Asal kamu tau, Na, Pak Widodo juga pernah datang ke Orang tuaku, mau meminang aku, tapi karena aku masih ingin sekolah, orang tuaku menolak. Heran itu sama bapak bapak satu. Mentang mentang ganteng, kaya, mau sesukanya aja milih orang. Gak bisa lihat jidat licin"

"Justru itu Tia, aku mau pergi malam ini juga, atau besok subuh. Aku mau minta baantuan mu."

Pembicaraan kami didengar oleh ibunya Tia.

"Ampuuuunnn....pak Widodo emang singa ya. Gak anak saya, kamu yang mau jadi sasaran"

"Ya, bi. Makanya Ina mau minta tolong. Pinjamkan Ina uang buat ongkos, nanti malam atau besok subuh Ina mau minggat"

"Ina....mau kemana nak" Ibunya Tia meendekatiku dan memelukku.

"Gak tau Bi. Yang penting Ina tidak mau menerima Pak Widodo"

"Ina, Bibi bisa bantu seadanya."

"Terimakasih Bi. Tapi tolong jangan sampai Oarang tua Ina tau"
Ibunya Tia pergi ke kamarnya, Tia mengusap usap punggungku.

"Sabar ya Na. Terus gimana kau bisa hidup, kalau hanya ongkos pergi yang kau minta?. Inaaaa...hidupmu begini amat ya..."

"Tia, Bibi sudah kasih ongkos saja aku sudah berterima kasih"

Tak lama kemudian Ibynya Tia datang

"Ini....ambil Ina. Kau pergilah sejauh mungkin. Ini tidak usah kau kembalikan. Suatu saat kau berhasil, datanglah nengok Bibi dan Tia."

"Biiiiii.....hiks hiks hiks" Aku menangis sejadinya. "Terimakasih Bi. Doakan Ina agar selamat dimanapun Ina nanti"
Ibunya Tia dan anaknya, melukku ikut terhanyut dalam kesedihanku.

Ketika aku pergi dari sana, setelkah beberapa langkah dihalaman rumah mereka, Tia memanggilku.

"Ina... tidak tunggu" katanya. Akupun berhenti.

"Ini tambahan buat modal kamu buat cari Kosta yang musrah. Pakailah" Tia masih dengan air mata memelukku lagi dan memberikan uangnya.

Dengan pelukan perpisahan, aku kembali gubuk orang tuaku dengan satu tekad, Minggat.

*******

QUINA, FROM ZERO TO RICH( DEWASA )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang