21. Kakak Kedua

214 29 3
                                    

Hari ini, Feyn membolos kelas Prof. Delar. Awalnya ia tak sendiri. Ada Aaros yang rela ikut membolos bersamanya. Akan tetapi, pemuda itu dipanggil oleh Rec sejak bel istirahat kedua berbunyi. Kini, Feyn tengah duduk di kursi taman terbuat  dari kayu dan berpola bunga sendirian. Kendati saat ini tengah istirahat, tidak banyak orang yang mau menghabiskan waktunya di taman yang membosankan, terkecuali Feyn.

Gadis berambut merah muda itu menghela napas panjang. Sudah sepuluh hari sejak ia bersekolah di LA atas paksaan kedua orang tuanya dan menyaksikan banyak sekali kejutan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Mulai dari Uncle Keir, teman ayah Feyn yang merupakan kepala sekolah; Bibi Azura wakilnya; Aaros dan Vio, sahabat masa kecilnya yang ternyata seorang penyihir; kakak perempuan yang ia kira tengah bersekolah di Jepang seorang ketua OSIS LA; bahkan sampai ia bertemu Elyx, yang setelah diberi tahu oleh Aaros, ternyata teman sekelas mereka saat sekolah dasar.

Kejutan apa lagi yang menanti Feyn di sini? Firasatnya mengatakan masih banyak kejutan lain yang Tuhan persiapkan untuknya. Oh, astaga! Berada di sekolah ini lama-lama membuat Feyn jantungan.

Feyn mendongak, menatap langit biru dihiasi awan putih yang begitu cerah. Ia masih heran, sebenarnya LA berada di mana. Aaros bilang mereka melewati sebuah portal untuk memasuki LA. Pertanyaannya, di bagian bumi mana? Atau—oh, jangan-jangan mereka sudah bukan di bumi? Lagi pula, di bumi mana ada manusia yang bersayap, berekor, bertanduk, ataupun bersisik!

Ia jadi teringat. Floe pernah bilang, ia adalah setengah elf dan setengah wizard. Kata Floe, wujud elf asli adalah bertelinga lancip dan bersayap. Feyn pernah melihat manusia—atau immortal—berwujud itu, meski bukan di kelasnya. Rasanya Feyn jadi sedikit penasaran, apakah ia juga bisa berubah ke dalam mode elf?

Feyn mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Ia baru sadar banyak bunga-bunga cantik dan tanaman hias bertumbuhan. Baiklah, tidak ada salahnya mencoba kekuatannya, mengendalikan tanaman, di sini bukan?

Feyn bangkit berdiri, lalu menghampiri semak belukar yang ditumbuhi beberapa bunga tak jauh di depannya. Sebelum melancarkan aksinya, Feyn menoleh ke kiri-kanan, memastikan tiada seorang pun yang melihatnya. Setelah dipastikan aman, Feyn merentangkan kedua tangannya ke depan dan menggumam, "Bunga, tumbuhlah!"

Dan voila!

Tanaman yang tadinya hanya ada enam bunga kini tumbuh menjadi belasan bunga. Senyum Feyn mengembang lebar.

Berhasil!

Ini memang bukan pertama kalinya Feyn mencoba kekuatannya. Kadang-kadang, ia pergi ke taman belakang ataupun ke taman ini tanpa sepengetahuan Aaros dan Vio. Sebelumnya ia baru bisa mengendalikan daun-daunan saja. Tidak ia sangka, dengan semudah itu ia bisa menumbuhkan bunga, berbeda saat bersama Floe waktu itu.

Feyn hendak mencoba lagi karena teringat dengan kata-kata kakak pertamanya.

"Kembalilah ke sini setelah dirasa kau bisa mengendalikan kekuatanmu."

Meski Feyn masih belum terlalu mengerti dan belum menerima perubahan nasibnya, Feyn merasa jika ia kembali ke Floe, ia akan menemukan jawaban-jawaban mengenai siapa keluarganya sebenarnya dan ... jati dirinya.

Feyn menarik napas panjang dan memejamkan kedua matanya, kemudian memusatkan inti kekuatannya di telapak tangan. Feyn merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhnya.

Menenangkan.

Begitu membuka kelopak mata ....

"EEEHH?!"

Mulut Feyn terbuka lebar, begitu pun dengan matanya. Masalahnya sekarang, taman bunga di hadapannya sudah berubah menjadi seperti hutan yang penuh tanaman rambat dan pepohonan lebat.

Luminas AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang