3. Asrama

4.1K 328 43
                                    

"Vio?"
"Feyn?"

Woah! Benar saja, gadis itu mengenal Feyn!

Feyn terbelalak kaget, dan dalam sekejap, Feyn jatuh tak sadarkan diri yang refleks membuat gadis itu menangkap tubuh Feyn.

"Astaga, Feyn?!"

Gadis itu memekik kaget. Dengan segera ia membawa masuk tubuh Feyn ke dalam kamar. Gadis itu mendengkus. Baru datang tiba-tiba pingsan? Feyn masih sama seperti dulu. Suka merepotkannya.

Ugh ... berat sekali anak ini!

"Hah ... hah ...." Gadis itu ngos-ngosan karena menyeret tubuh berat Feyn sampai ke kasur.

Wajah Feyn terlihat sangat syok. Kenapa lagi anak ini? pikirnya heran. Dia memegang dagunya, berpikir. Bagaimana cara membangunkan anak ini. Lalu, sebuah imajiner lampu bohlam muncul di atas kepalanya. Aha! Ia punya ide. Dalam hatinya, ia meminta maaf pada Feyn berkali-kali entah untuk--

Plak!

"Feyn! Bangun!"

--menampar pipi Feyn.

Plak!

"Sudah siang!"

Baru saja ia ingin menampar pipi Feyn yang ketiga kalinya, ada yang menahan pergelangan tangan gadis itu. Dia menatap Feyn seraya menaikkan alisnya. Feyn menatapnya kesal. Ternyata tamparannya berhasil membangunkan Feyn.

Feyn mengelus kedua pipinya yang sakit akibat tamparan gadis itu. Sakit sekali, pikir Feyn meringis. Feyn pun langsung melotot kesal ke gadis yang menamparnya.

"Kenapa menamparku?" tanya Feyn kesal.

"Membangunkanmu," balas gadis itu dengan watados.

"Apa tidak ada cara lain apa? Sudah kubilang berkali-kali, tidak sopan membangunkan orang dengan cara menampar!"

"Menampar adalah cara terbaik membangunkan seorang Feyn Scarletta dari pingsan."

Feyn menghela napas kasar, lalu mengusap wajahnya. Percuma berdebat dengan makhluk dingin ini. Lagi pula, yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah.

Tiba-tiba pintu kamar asrama terbuka. Menampakkan sesosok gadis berambut perak dan iris mata merah. Feyn dan gadis itu menoleh menatapnya.

"Kau?!" pekik mereka minus Feyn bersamaan.

"Uhm, kalian saling kenal?" tanya Feyn yang heran melihat kekompakan mereka.

"Tidak juga," jawab mereka bersamaan lagi.

Mereka berdua saling bertatapan, lalu saling memalingkan wajah.

Gadis beriris merah mengedikkan bahunya tak acuh. Ia menutup pintu lalu melangkah masuk dan duduk di atas ranjang yang tersisa.

"Bagaimana kalau kita berkenalan dulu?" usul Feyn tiba-tiba. Keduanya terdiam. Karena tak ada respons, Feyn melanjutkan ucapannya. "Namaku Feyn Scarletta. Biasa dipanggil Feyn. Kalian?"

Gadis beriris merah menghela napas dan menatap Feyn datar. "Aku sudah tahu namamu."

"Lho? Dari mana?" tanya Feyn kaget. Padahal, kan, ia belum memberitahu namanya.

"Feyn, kau tidak melihat mading? Nama teman seasramamu tertera di sana, bodoh!" sahut gadis yang tadi menamparnya seraya menoyor kepala Feyn pelan.

"Eh? Begitu ya? Tapi, tak apa! Biar lebih dekat!"

"Huft, baiklah! Namaku Viorence Erielle Damian. Panggil aku Vio. Klan wizard level 5. Dan kau, Iblis?" kata gadis yang tadi menyeret Feyn ke kamar-Vio-dengan dingin seraya menunjuk gadis beriris merah.

Luminas AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang