Bukannya menghindar atau apa, Feyn justru malah memejamkan matanya dengan kedua tangan yang menyilang di depan wajah. Feyn sudah terlalu pasrah akan terkena serangan, sama seperti waktu itu, saat dirinya hampir tertabrak truk.
"Buka matamu, Feyn! Jangan memejamkan mata saat sedang bertarung!"
Suara kakaknya terdengar di telinga Feyn. Gadis itu menurut. Perlahan ia membuka matanya dengan takut. Feyn terbeliak. Bola-bola api itu berhenti tepat tiga langkah di hadapan Feyn. Floe ada di depan sana, mengarahkan tangan kirinya, sepertinya untuk menghentikan bola-bola itu.
"Jika ini adalah pertarungan sungguhan, kau benar-benar bisa mati, Feyn," kata Floe dingin. Sorot matanya begitu tajam, berbeda dengan sosok kakaknya yang ia kenal beberapa menit lalu. Sekarang Floe benar-benar terlihat seperti ayah Feyn. Mengerikan, pikir gadis berambut pink itu.
"Aku akan luncurkan bola-bola api ini. Pilihanmu hanya tiga. Menyerang balik, bertahan, atau lari," lanjut Floe masih menahan bola-bola api itu.
Argh! Aku harus apa?!
Feyn kalut. Pikirannya kacau.
"Siap?"
"Tid—"
"Serang!"
Pupil Feyn membulat. Dengan gesit Feyn menghindar ke kanan hingga tubuhnya jatuh tersungkur. Feyn menoleh ke belakangnya. Bola-bola api itu meledak dan membakar dinding pelindung. Feyn bergidik ngeri. Bagaimana jika tadi bola api itu mengenainya? Benar kata Floe, ia benar-benar bisa mati.
"Bangun, Feyn." Floe berjalan mendekati Feyn.
Feyn segera bangkit. Ia tidak berani menatap Floe.
"Yang tadi belum seberapa." Floe merentangkan tangan kanannya ke depan lalu muncullah sebuah tombak berwarna hitam yang ujungnya terdapat api merah gelap.
Tunggu, itu tombak dari mana?!
Sebelum Floe menyerang, Feyn mundur perlahan. Tepat ketika Floe mengayunkan tombaknya, kaki Feyn berlari menghindari serangan itu. Namun bagaimanapun, kecepatan Feyn masih kalah dengan Floe. Juga area latihan yang berukuran tidak terlalu luas, membuat Feyn tidak bisa leluasa untuk berlari.
Api menyembur dari ujung tombak Floe, menghalangi jalan Feyn—tidak, tepatnya mengurung Feyn dalam lingkaran kobaran api.
"Akh! Panas!" Feyn menjerit kala kobaran api itu mengenai bahunya yang dilapisi seragam.
Feyn hendak menangis. Matanya berkaca-kaca. Ia takut. Sangat takut. Saking besarnya kobaran api itu, Feyn bahkan kesulitan melihat wajah Floe.
Tidak, ia tidak mungkin bisa keluar dari kobaran api ini. Tolonglah, Feyn tidak mau menjadi manusia bakar!
Tepat ketika setetes air mata Feyn terjauh, gadis berambut pink itu berteriak, "Kumohon, api, padamlah!" Netranya terpejam saat mengatakan itu.
Konyol. Memangnya dia pengendali api sampai-sampai bisa memerintahkan api untuk padam?
"Buka matamu." Floe merendahkan nada bicaranya.
Perlahan, Feyn membuka kelopak matanya yang sembap. Namun, begitu melihat tidak ada kobaran api yang mengelilinginya, pupil Feyn membulat. Tunggu, bagaimana? Kobaran api tadi lenyap?
Sementara Feyn mengedip-edipkan kedua matanya karena bingung, Floe membalikkan badan membelakangi Feyn. Tombak yang ada di genggaman tangannya juga sudah menghilang.
"Aku rasa sudah cukup. Kau sama sekali belum kuat. Kembalilah ke sini setelah dirasa kau bisa mengendalikan kekuatanmu." Kepala Floe tertoleh ke belakang sekilas kemudian berlalu meninggalkan area latihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luminas Academy
FantasyFeyn Scarletta, gadis manis yang sebelumnya menjalani kehidupan biasa mendadak mengalami kejadian tak terduga yang membuatnya harus melanjutkan sekolahnya di Luminas Academy. Sekolah itu aneh. Sihir, kekuatan, immortal, kutukan, monster, mantra, dan...