8. Masalah Terselesaikan?

1.7K 130 2
                                    

"Glaciel murum!"


Seseorang berseru. Bersamaan dengan suara itu, sebuah dinding yang terbuat dari es berwarna gelap tiba-tiba saja mncul di hadapan Feyn dan Livia, melindungi kedua gadis itu. Ketiga kekuatan yang ingin menyerang mereka berdua lenyap seketika kala menghantam dinding es.

Derap langkah kaki mendekat terdengar. Kelima orang yang berada di sana menoleh penasaran kepada sang pelaku. Seorang pemuda dengan helai rambut berwarna cokelat menghampiri mereka. Wajah Feyn berubah menjadi girang. Feyn mengenalinya. Itu Aaros!

"Aaros!" Feyn berseru senang. "Kok bisa ada di sini?"

Saat tepat di hadapan Feyn dan Livia, tangan kanan pemuda itu langsung mencubit pipi kiri Feyn. Si pelaku pencubitan menatap datar, sedangkan si korban mengaduh kesakitan.

"Aku mencarimu ke mana-mana. Kukira kau ada di perpustakaan mengerjakan hukuman Prof. Delar, tapi ternyata kau malah nyasar ke sini," kata Aaros, dengan tangan kanan yang masih mencubit pipi Feyn.

Aaros beralih menatap Livia dan tiga orang yang ada di seberang bergantian. Tampak raut kesal Elyx, Shin-Ae, dan Shiron karena gagal menyerang, juga datang seorang pengganggu.

"Elyxen Flamesh," panggil Aaros kepada gadis berambut merah, membuat raut wajah Elyx mengeras. "Inikah yang dilakukan seorang bangsawan Flamesh kepada orang yang lebih lemah darinya?" Aaros bertanya dengan nada dingin.

Elyx tertegun, juga kesal. Shin-Ae dan Shiron menatap Aaros tidak suka. Livia bingung dengan situasi. Sedangkan Feyn? Gadis bersurai pink itu sedang asyik mengelus-elus pipinya yang habis dicubit Aaros. Namun, Feyn yang baru sadar akan perkataan Aaros langsung mendelik.

"Hei, aku tidak lemah!" Feyn mengerucutkan bibirnya. Enak saja Aaros mengatakannya lemah! Eh, tapi, mungkin Aaros ada benarnya juga. Sepertinya aku memang lemah, pikir Feyn mengaku.

"Ck, Aaros Lorette," gumam Elyx mendesis. Elyx tampak sangat tidak suka dengan kehadiran Aaros yang dianggapnya sebagai pengganggu.

"Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Sudahi permasalahan ini. Kalian bertiga lebih baik cepat pergi dari sini sebelum aku melapor pada Prof. Wiltson," ancam Aaros yang membuat ketiga orang itu menggeram dan menggerutu.

"Lihat saja nanti! Kami pasti akan membalas kalian, termasuk kau, Lorette!" hardik Elyx seraya menunjuk Aaros.

"Kau terlalu ikut campur, Penyihir!" tambah Shiron, menatap tajam Aaros. "Tapi, aku senang kau masuk ke sini. Pertarungan kita masih belum selesai. Ingat itu!"

Shin-Ae menyeringai. "Kuharap kau tidak melupakanku, dasar Pencuri Sialan."

Setelah mengatakan itu, Elyx, Shiron, dan Shin-Ae membalikkan badan dan pergi dari tempat itu bersamaan dengan bel masuk yang berbunyi.

Feyn dan Livia menghela napas lega. Bersyukur karena tiga orang itu sudah pergi. Walaupun Feyn yakin, mereka pasti akan mengingat dan membalas kejadian tadi.

Aaros mengarahkan tangan kanannya ke arah dinding es dan bergumam sesuatu yang membuat dinding es itu lenyap. Masih dengan tatapan datarnya, Aaros menatap Feyn dan Livia.

Dalam pikiran Feyn, ia menyadari sesuatu.

"Aaros ... tadi itu, apa kekuatanmu?" tanya Feyn, menatap Aaros serius.

Aaros mengangguk kecil. "Seperti yang kau lihat."

Feyn tampak bingung, tapi ia paham satu hal. "Jadi, kau penyihir berkekuatan es, ya?"

Aaros tak langsung menjawab dan terdiam sebentar. "Ya ... ini kekuatanku yang sebenarnya," jawab Aaros dengan suara pelan. Ekor matanya mengarah ke arah lain, seperti menghindari kontak mata dengan Feyn.

Entah perasaan Feyn saja, atau memang benar Aaros sengaja merendahkan suaranya dan mengalihkan pandangan darinya? Tapi, yang lebih penting, kenapa Aaros merahasiakan ini dari Feyn? Feyn pikir, setelah ia bersahabat dengan Aaros selama kurang lebih sepuluh tahun, pemuda itu mempercayainya. Entah kenapa Feyn merasa kecewa.

"Dark Ice atau es hitam," celetuk Livia tiba-tiba.

Aaros sontak menoleh menatap Livia tajam. Feyn mengernyit, tampak bingung. Livia yang sepertinya belum menyadari tatapan tajam dari Aaros melanjutkan, "Es hitam adalah salah satu elemen terkuat. Itu karena es biasa dan es hitam berbeda. Bisa dibilang, es hitam setingkat di atas elemen es biasa. Suhu es hitam jauh lebih rendah dibanding es biasa. Suhu yang sangat dingin itulah, yang dapat menusuk kulit dan membunuh seseorang."

"Kau ...." Nada rendah dan penuh tekanan Aaros membuat Livia bergidik. Gadis itu segera menunduk begitu melihat sorot mata Aaros yang tajam bak pisau.

Se-seram!

" ... siapa?"

Livia mendongak. Kali ini ia menatap mata Aaros.

"E-eh? Oh, itu, a-ah, na-namaku Livia ... Livia Mariana Aquane," jawab Livia takut-takut. Dia terlihat panik dan gagap.

"Klan mermaid Aquane, huh?" gumam Aaros seraya mengangguk kecil.

"Hei, Aaros. Sepertinya kau membuatnya ketakutan," celetuk Feyn. Ekor matanya melirik Aaros dan Livia bergantian.

"E-eh! Ti-tidak kok! Ahaha ...," sanggah Livia lalu tertawa hambar.

Jelas sekali dia sedang ketakutan ... batin Feyn dan Aaros.

Tiba-tiba, Feyn bertepuk tangan sekali untuk memecah suasana canggung.

"Ah, iya. Aku juga belum memperkenalkan diri! Astaga, maaf atas ketidaksopananku," kata Feyn kemudian tersenyum lebar. "Namaku Feyn Scarletta, dan pemuda dingin ini adalah sahabatku, Aaros Norwey. Kami dari kelas 1-B."

Feyn mengulurkan tangannya dan Livia menerima uluran itu dengan ragu-ragu. "Aku dari kelas 1-A. Sa-salam kenal."

"Salam kenal, Livia! Semoga kita dapat berteman dengan baik!" Lagi, Feyn tersenyum. Aaros mengalihkan pandangan lagi dengan sedikit rona di wajahnya.

Livia terpana. Ia pun membalas senyum Feyn dengan tulus. "Ya!"

"Ehem." Aaros berdeham. "Bukan maksudku untuk merusak suasana, tapi ... bel sudah berbunyi sedari tadi."

Feyn dan Livia sontak membelalakan matanya. "OH IYA!"

"Astaga, aku lupa! Sekarang pelajaran siapa?" tanya Feyn panik.

"Masih kelas meramu, tapi dengan Prof. Tixie," jawab Aaros santai. "Sebaiknya kita kembali ke kelas. Aku yakin Prof. Tixie sudah menunggu kita."

"Kalau begitu ayo! Aku tidak ingin hukumanku bertambah lagi karena telat!" Feyn menarik tangan Aaros. "Livia, kami duluan, ya!" pamit Feyn seraya melambai kemudian berlari tergesa-gesa bersama Aaros.

Livia balas melambai kecil walaupun Feyn sudah jauh. Baru saja Livia akan melangkah, sesuatu terlintas di benaknya. Dia menunduk, menatap pakaiannya yang basah karena tercebur di kolam tadi.

"Oh, astaga. Aku lupa kalau pakaianku basah," gumam Livia pasrah. Gadis itu mendesah pelan kemudian melangkah kembali ke asramanya walaupun pelajaran masih berlanjut.

☆☆☆

Yo. Setelah sekian lama, akhirnya update juga ya? Udah berapa lama aku menelantarkan LA?

Kira-kira masih ada yang baca nggak ya? /tertawa masam/ Aku nggak yakin ....

Aku tahu aku ini author PHP yang banyak dosa, jadi kali ini aku berikan double update sebagai gantinya. Silakan cek chapter selanjutnya~

6-12-2019

Luminas AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang