20

1.1K 42 0
                                    

Makan siang pertama di kantor baru membuat Serena semangat untuk mencari tahu bagaimana suasana cafeteria di gedung mewah ini. Dengan nampan berisi makan siang yang baru saja ia dapatkan dari antrian di kantin, Serena melangkahkan kakinya untuk mencari meja kosong atau kursi kosong jika ia terpaksa harus bergabung dengan karyawan lain karena meja sudah terisi penuh. Sayangnya, sepertinya ia sedikit agak terlambat turun untuk makan siang karena ia tidak menemukan satu mejapun yang kosong. baru saja ia akan berbalik ke arah lain, Serena mendengar namanya di panggil. Ia memalingkan wajah mencari asal suara tersebut dan mengerutkan dahi saat melihat seorang wanita dengan rambut pirang melambaikan tangan padanya. "Serena!"

Ah, ia baru ingat. Wanita itu ia temui di toilet wanita sebelum jam makan siang tiba. Dengan senyum lebar di bibirnya, Serena melangkah mendekati meja yang baru berisi dua orang. Si pirang menggeser duduknya untuk Serena. "Kau pasti kesulitan mendapat tempat pada jam seperti ini."

Serena mengangguk setuju. "Aku hampir akan membungkus makanan ini dan membawanya ke atas." ia meletakkan nampannya di atas meja.

Si pirang menyodorkan tangannya sesaat setelah Serena duduk. "Aku Jane. Dan ini Emma." Emma yang ditunjuk Jane adalah wanita berambut coklat gelap sebahu dengan mata berwarna hijau. Sedangkan Jane sendiri berambut panjang dan bergelombang yang memiliki warna mata biru yang indah. "Kita tidak sempat berkenalan tadi pagi karena aku sedang sibuk menyiapkan bahan persentasiku." Jane meringis atas sikapnya tadi pagi yang sedikit acuh padanya. Padahal itu sama sekali tidak membuat Serena keberatan, jika Jane tidak menyinggungnya, ia pasti sudah lupa akan perilaku acuh mereka sebelumnya.

"Tidak apa-apa. jika aku jadi kau, aku akan bersikap sama karena panik mempersiapkan hal penting seperti itu." Serena mulai menarik makanannya dari atas nampan karena ia lihat Emma dan Jane sudah hampir menghabiskan setengah dari makanan mereka.

"Oh, ayolah. Jane akan bersikap seperti itu setiap kali kita akan persentasi. Dia hanya ingin menggoda bos besar dengan penampilannya." Emma kali ini buka suara dengan meledek temannya.

Jane, tanpa malu-malu, mengibaskan tangannya sambil berkata. "Bahkan jika diperbolehkan, aku akan tampil diruangan meeting hanya dengan bikini seksiku."

"Dengan itupun kau tetap tidak akan membuat mata Lucien bertahan lebih dari lima detik pada tubuhmu." Emma terkekeh bersamaan dengan Serena yang kesulitan menelan makanannya. Jadi bos besar yang sedari tadi mereka bicarakan adalah suaminya? Dalam hati, ia ingin mengutuk dirinya sendiri. Tentu saja itu adalah Lucien, pemilik dari perusahaan di mana mereka bekerja kan memang pria itu. memangnya siapa lagi?

"Serena, kau sudah pernah bertemu dengan atasan kita?" Jane bertanya sambil menusuk anggur hijau dengan garpunya.

Jika ia jawab sudah, mereka akan bertanya di mana ia bertemu dengan pria itu. "Belum. Apa dia sering berada di kantor?"

"Tidak juga. Hampir setengah dari waktunya dia habiskan di luar. Kadang-kadang beberapa hari ia tidak datang bekerja, tapi saat ia berada di kantor cobalah membuat alasan sesering mungkin untuk mengunjungi lantai khusus."

"Lantai khusus?"

"Ya, lantai dimana ruangan Lucien berada. Sekertarisnya hanya memperbolehkan orang-orang dengan kepentingan saja yang boleh masuk ke sana. Oh, dan ada ruangan meeting."

"Bukankah kita memiliki ruangan meeting di lantai kita sendiri?"

"Betul, tapi itu khusus untuk meeting karyawan antar departemen. Jika kita hendak menunjukan sesuatu pada bos besar, kita akan di minta untuk naik ke lantai khusus."

"Lagipula, mengapa kau pikir Lucien mau susah-susah turun dan bergabung dengan kita di ruangan meeting yang pengap itu?"

Serena mengerutkan kening, dari hasil berkeliling tadi pagi dengan Andrew, ia tidak merasa ruang meeting itu pengap. "Sepertinya ruang meeting yang tadi aku lihat sangat layak, lebih dari itu, ruangan meetingnya terlihat keren menurutku."

"Percayalah, Serena, itu hanya karena kau belum melihat ruangan meeting di lantai khusus seperti apa. Semua orang akan setuju bahwa ruangan kita lebih pengap dibanding ruangan meeting milik Lucien."

Seorang pria menghampiri meja mereka dengan seulas senyum di bibirnya. "Jane, kau tidak ingin mengenalkanku pada orang baru ini?" Pria itu dengan santai duduk di samping kursi yang Serena duduki.

"Oh, ayolah Steve. Reputasimu tidak memerlukanku untuk hal seperti itu." Jane memutar bola matanya pada pria yang ia panggil Steve.

Serena mendengar pria itu tertawa ringan. Suaranya enak untuk didengar, dan sikap pria itu sangat percaya diri saat mengulurkan tangan pada Serena. "Aku Steve, asal tahu saja semua pria di kantin ini ingin menyapamu dan aku pria pertama yang melakukan itu." Steve mengedipkan matanya saat mengatakan hal klise itu pada Serena.

Serena membalas uluran tangan Steve. "Serena. Omong-omong, penjaga kafetaria yang pertama. Ia sudah melakukannya lebih dulu sebelum kau." Serena mengedik pada pria tua yang tadi menyapanya saat ia datang dan memasuki area makan ini.

Jane dan Emma tergelak mendengar Serena mematahkan keangkuhan Steve namun pria itu dengan cepat menguasai dirinya kembali. "Well, itu tidak masuk hitunganku. Jadi bagaiman hari pertamamu, apa kau membutuhkan guide untuk menemanimu berkeliling?"

"Asal kau tahu Serena, jika kau jalan dengannya hindari saja tempat sepi dan tertutup karena ia akan mencoba untuk masuk ke dalam celana dalammu pada detik pertama."

Serena membelalakkan mata pada kalimat Jane yang terdengar blak-blakan tapi Steve menyambutnya dengan tenang seolah terbiasa akan hal itu. "Jangan khawatir, kali ini aku akan membiarkan Serena untuk memilih tempatnya."

Emma sudah tidak tahan lagi mendengar kicauan pria itu. "Kau menjijikkan, Steve. Ini hari pertama Serena, jangan mengganggunya."

"Mengganggu apa? Aku tidak melakukan apapun selain memperkenalkan diri. Kalian lah yang sedari membicarakan hal yang tidak-tidak." Kali ini Steve terdengar agresif membela diri. "Aku akan berteman baik dengan Serena, benar kan?" Pria itu menoleh pada Serena dan melingkarkan tangan pada bahu wanita itu yang sedang mencoba menghabiskan makanannya. Sehingga Serena hanya mengangguk pasrah.

Pada detik itu ia mendengar keriuhan di sekelilingnya perlahan menurun. Seolah ada seseorang yang menyuruh mereka diam. Namun, tentu saja tidak ada yang melakukan itu. satu-satunya penyebab adalah karena seseorang baru saja memasuki area cafeteria tersebut. Jane dan Emma terpaku pada satu titik jauh di belakang Serena sehingga membuat dirinya penasaran dan ikut membalikkan badan untuk melihat sumber keheningan di sekitar mereka.

Napasnya tercekat saat matanya bertatapan dengan mata tajam dan gelap milik suaminya. Lucien sedang berjalan lurus ke arahnya, dengan Andrew yang mengikuti di belakang. Ia sudah berkali-kali tidur dengan pria itu dan telah tinggal di atap yang sama untuk waktu yang lumayan lama namun dirinya sendiri tidak mengerti mengapa ia merasa sesak saat kali ini melihat Lucien berada di ruangan yang sama dengannya. Belum lagi, pria itu terlihat berbeda dari yang biasa ia temui di rumah. Pria di hadapannya dingin, terlihat tak tersentuh dan berbeda level dengannya.

Lucien, dengan langkah lebar dan tegapnya berjalan lurus ke arah mereka. Dan betapa leganya Serena, saat tahu bahwa tujuan pria itu ke sana adalah karena Lucien akan mengambil makan siang dan duduk di meja lain. Ia sudah khawatir suaminya akan mendatanginya dan membongkar semua rahasia yang baru saja mereka mainkan sebagai orang yang tidak saling mengenal.

Andrew sudah menyiapkan meja untuk atasannya itu. Berjarak satu meja dari tempat dimana Serena dan teman-temannya duduk. Lucien membuat kagum semua orang yang ada di sana. wanita dan juga pria. Para wanita memuja pria itu atas ketampanan dan aura seksi yang terpancar dari wajah dan tubuhnya sedangkan para pria mengagumi kecerdasan dan kesuksesan yang Lucien raih dalam usia muda. Beberapa pria membayangkan untuk memiliki wajah seperti Lucien yang akan membantu mereka dalam urusan percintaan dengan wanita. Lucien pasti tidak akan kesulitan untuk mendapatkan teman tidur setiap harinya dengan wajah seperti itu, pikir mereka.

Married with the hottest CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang