1

9.7K 266 0
                                    

Maret 2015, Jogjakarta

Malioboro tak pernah mati. Hiruk pikuknya, percampuran budaya, derai rasa yang menjadi satu membentuk suara bising lainnya. Kerlap kerlip lampu nya seolah menantang bintang untuk tak lagi hinggap di langit malam.

Langit malam, perempuan itu menengadah memandang bintang yang bersembunyi malu di atas awan sana. Enggan menunjukan gigi dan membiarkan orang-orang berdecak penuh kagum padanya. Ararinda. Perempuan itu masih sibuk menekuri piring-piring kotor yang berada di sekitarnya. Menyabuni dengan telaten tanpa ucap lelah barang sebentar. Di biarkan peluh jatuh perlahan melewati pelepis menuju dagu. Pegal itu tak lagi berarti baginya.

“Mba Rin, diem aja. Lagi ada masalah?”.

Ararinda bahkan tak menggeleng atau mengangguk. Ia menarik bibirnya membentuk senyum yang sedatar danau. Yang menegurnya hanya tersenyum masam. Lagi-lagi tak mendapat respon.

“Bukdeh Sri, Rin mau pulang aja boleh?”.

Perempuan yang hendak berbalik itu mengeryit bingung. Tumben sekali gadis itu bertegur sapa dengan nya. Apalagi ia mengenal gadis itu semenjak orok tak pernah kenal meninggalkan pekerjaan nya. Ia melirik pekerjaan Ararinda di belakang bahu gadis itu. sudah selesai. Tapi bahkan ini masih pukul tujuh malam. Jantung Jogjakarta ini bahkan belum sepadat biasanya. Dan gadis itu baru datang sekitar sejam setengah yang lalu. Kalau pergi siapa yang bertugas mencuci piring? Dua karyawan Sri yang biasa mengerjakan tugas itu juga belum kelihatan batang hidung nya.

Perempuan di penghujung empat puluh tahun itu mencoba berpikir keras. Biar bagaimanapun untuk sekarang ini, ia membutuhkan keponakan nya itu untuk membantunya. Karena kedai miliknya sedang ramai-ramainya.

“Nanti aja dulu, nduk. Tunggu pegawai bukdeh sampai. Warung lagi ramai ramainya ini”.

Ararinda hendak menjawab tetapi si empu nya malah terlanjur pamit untuk melayani pembeli. Jadi ia hanya bisa mendengus kesal dan kembali ke tempatnya barusan.

Coba saja bapaknya tidak memberitahu hal barusan pasti tidak akan kejadian seperti ini. Mana Bima baru saja meminta putus darinya. Duh, makin hancur saja perasaan nya kini. Ia menatap jengah salah satu pegawai bukdeh Sri yang menyodorkan nya setumpuk piring kotor dengan memasang wajah memelas padanya.

*

Rinda sengaja pulang lebih awal. Biar tidak perpaspasan dengan ibu atau dengan bapaknya. Ia malas sekali rasanya mengobrol saat ini. Rinda masih terbayang-bayang Bima yang seenak perutnya mengambil keputusan untuk berpisah. Setelah dari SMP menjalin hubungan, kini dengan mudahnya dilupakan nya. Bilang saja ia melankolis, atau lemah. Tapi bukan karena itu yang membuatnya kesal setengah mati. Tapi alasan pria itu memutuskan nya. Benar-benar tidak pandai mencari alasan. Bilang saja kalau kini kehadiran nya sudah tergantikan oleh wanita-wanita lain yang lebih segalanya. Lebih manis dan pribumi sebagaimana yang diimpikan Bima. Bukan berkulit pucat yang bahkan sering kali teman-teman nya mengolok albino. Sial.

“Rin…”,

Rinda menengadah sembari membereskan laptopnya dari meja makan. Mereka baru saja selesai makan siang dan karena pekerjaan nya yang masih betumpuk ia tidak bisa tidak mengerjakan nya bahkan di waktu makan siang sekalipun. Karena yang ditanggapinya tak juga melanjutkan kata-katanya ia pun kembali berkutat merapikan barang-barang nya.

“Rin….”, Kini suara pria itu semakin menuntut.

“Apa sih Bim? Jangan bertele-tele, kalau ada sesuatu ngomongin aja. Emang kamu nggak takut telat balik ke kantor?”.

Suara Rinda yang lugas itu semakin meragukan niatnya. Bima hanya menggeleng dan  mengajak nya masuk ke dalam mobil. Rinda tahu benar ada sesuatu yang ingin dibicarakan kekasihnya itu, tapi peduli setan. Kalau yang bersangkutan juga tak mau memberitahu masa ia harus memaksanya?

My Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang