13

2.4K 197 5
                                    


*

Hujan turun di penghujung minggu kedua minggu ini, Bima mengeratkan genggaman nya pada secangkir kopi panas yang baru saja dipesannya. Dingin ini tak terlalu mengganggunya.

Mungkin karena tubuhnya terbiasa kebas dengan udara yang ada di Negara tetangga, atau mungkin rindu ini mengalahkan rasa dingin yang melanda. Rinda terlambat. Tidak seperti biasanya.

Jelas bukan hal yang mengejutkan kalau Rin berlaku tidak seperti biasanya.

Karena biasanya Rin selalu di antar jemput olehnya, biasanya Rin selalu menjadi orang pertama yang menjadi tempat ia bercerita, biasanya Rin mengisi harinya sebagai pasangan kekasihnya. Tetapi kan, ia sudah memutuskan Rin. Memutuskan segala hubungan picisan di antara mereka. Memutuskan kebiasaan itu pula. Pantas kalau Rin berlaku tidak seperti biasanya.

Menelfon Rin, termasuk hal bunuh diri baginya. Karena mendapatkan Rin ingin bertemu dengan nya setelah ia memutuskan nya pun sudah begitu mewahnya. Biarlah waktu berharganya, dipotong menunggu Rin datang.

Dari kejauhan Bima dapat melihat tubuh jangkung Rin tengah berusaha menyebrang jalan. Jadi ingat dulu mereka selalu menyebrang bersama. Ararinda memakai dress lengan panjang selutut warna kuning pisang, yang bagusnya terlihat begitu pas dikenakan tubuh sintalnya.

"Maaf terlambat,Bim",

"Aku tadi udah pesenin kamu makanan yang biasa, tapi kayaknya udah dingin deh,Rin. Mau pesenin yang baru?".

Rinda menatap kea rah Bima sebentar. Menilik pria itu dalam-dalam. Intinya Cuma Bima gendutan. Terlihat lebih subur di negeri rantau. "Ndak. Tapi aku mau pesen jus mangga". Keheningan menyelimuti. Untuk pertama kalinya setelah sebelas tahun bersama, kesunyian itu datang tanpa pamit di antara mereka.

"Aku ndak punya waktu banyak,Bim", jelas Rin singkat "Kamu bisa mulai sekarang".

Tanpa ragu, Bima menarik foto dari kumpulan map yang dibawanya. Menyodorkan nya pada Rin. Wanita itu menyipit. Menatap wanita paruh baya tengah berbelanja di toko kelontong yang jelas-jelas khas pasar eropa. Yang mengejutkan, rupa ibu itu adalah dirinya versi tua dan versi mata berbeda.

Menolak untuk memberikan ekspresi berlebihan, Rin berdeham kecil. Kembali meneguk jus mangga nya dengan tenang.

"Jadi kamu cuma mau bilang ini?",

"Cuma? Rin, ini bukan cuma. Kamu nggak bisa lihat dia itu mirip banget sama kamu? Kamu nggak curiga sama sekali?".

"Setiap orang punya 7 kembaran nya di belahan dunia ini,Bim". Bima menatap Rin terkejut. Sikap Rin jauh dari jangkauan nya, meski ia sadar hati Rin untuknya masih jatuh tak jauh darinya sekarang. Perempuan itu menutup gerbang jauh-jauh untuk dekat dengan nya.

Rinda bisa melihat itu. Rindu Bima yang dibawanya bersama secarik foto itu. Pria itu kembali menikmati kopinya dalam diam, meski Rin tahu Bima tengah berusaha menelan pahitnya harapan.

"Rin aku-"

Ponsel Rin berdering nyaring. Niat awal ingin Rin reject tapi melihat nama ibu ia langsung mengangkatnya. Mendapat instruksi untuk cepat pulang, secepat kilat merapikan barang nya menyisihkan uang dan menolak keras tawaran Bima untuk membayar makanan nya.

"Terserah kalau kamu kekeuh mau bayar makanan mu sendiri. Tapi aku sama sekali ndak terima kalau kamu nolak tumpangan ku". Bima menatap Rin penuh harapan, perempuan masih sibuk dengan tasnya sembari mengacungkan jempol padanya. Tentu saja tanpa pengetahuan Rin, Bima tersenyum lebar.

My Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang