19

2K 169 16
                                    


*

"Tapi ini kan liburan semester Rin yang pertama jadi mahasiswa, pak!".

"Sekali ndak ya ndak,mas", bapak berjalan memutari meja makan "istri mu itu baru delapan belas tahun, mau kamu ajak naik naik gunung tinggi. Perempuan sendiri lagi".

"Aku kan suaminya pak! Aku yang bakal tanggung jawab".

Rin menunggu di halaman depan menemani tas hiking miliknya dan milik Wanara di samping kiri. Diselingi perdebatan bapak yang melarang Nara untuk membawa Rin kali ini dalam ekspedisi naik gunungnya.

Awalnya Rin tahu pasti bapak bakal menolak. Tapi karena sifat keras kepala bapak menurun ke putra semata wayang nya, Rin hanya bisa diam menunggu keputusan final. Kepala mana yang lebih batu dari keduanya.

Tak lama Wanara muncul dengan wajah penuh kebahagiaan. Memerintahkan Rin untuk mengekorinya.



Dalam pendakian ini, Wanara sama sekali tidak memanjakannya. Rin harus membawa tas yang beratnya berkilo-kilo. Untungnya dalam perjalan ini bukan hanya Rin saja yang perempuan, namun ada Ine. Kekasih dari Ageng. Kawan lama Wanara.

"Rin malem ini kita tidur di pos ini, nanti jam tiga pagi bangun ya? Kita mau ke puncak".

"Kaki ku pegel mas".

Wanara tertawa kecil dan menjentulkan kepala Rin. Tawa itu tak luput dari perhatian Rin, hanya dengan tawa itu hatinya menjadi berdebar seketika.

Untuk alasan yang jelas ia mengerti, bahagia tak pernah surut dari mata hijaunya. Ia jatuh cinta. Pada suaminya.

Pada semua perhatian Wanara. Caranya menggoda. Atau sekedar rajukan meminta ciuman sebelum membiarkannya masuk ke dalam sekolah.

Ada perasaan yang beberapa tahun ini Rin rasakan berbeda. Sekarang, Rin tidak lagi mengelaknya. Biar saja cintanya tumbuh, cinta itu tak pernah salah mekar kan?

Oh ya!

Bima?

Pria itu masih menjadi kekasihnya. Tapi jantungnya tak pernah berdetak seirama dengan ia menatap wajah Nara. Nama Bima belum cukup membuatnya bergetar, saat ia memanggil Nara.



"Eh Rin! Bangun dong!",

Rin membuka matanya perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah satu-satunya hal di dunia yang ingin ia miliki selamanya. Pria miliknya. Dengan sigap Wanara menyiapkan peralatan untuk Rin.

Bedanya pendaki yang sudah pengalaman sama yang amatir memang beda sekali. Wanara sama sekali tidak terlihat kelelahan. Sedang Rin rasanya mau mati saja, sembari menahan beban tubuhnya pada tali yang menggantung dirinya.

Peluh yang bercucuran semakin membuatnya engap. Mencoba berpikir tenang agar cepat sampai ke atas puncak. Punggung Wanara yang dipenuhi peralatan menanjak seolah menyemangatinya.

Ia tak bisa bilang lelah begitu saja. Wanara sampai harus berdebat dengan bapak supaya Rin bisa ikut.

"Rin!! Ayo Rin, bentar lagi sampe. Di sini indah banget",

Ararinda mendongak. Mencoba memamerkan gigi indahnya kea rah Wanara. Memberitahu bahwa ia baik-baik saja. padahal kalo bisa, matanya sudah mau tertutup rapat kelelahan.

My Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang