5

3.5K 237 4
                                    

*

Bima menatap layar ponselnya. Menatap foto Rinda yang didapatkan nya dengan susah payah. Sebelas tahun saling mengenal bukanlah hal yang mudah mendapatkan foto bergambarkan wajah perempuannya pujaan itu. bukan masalah angkuh nya ia sampai tidak ingin berfoto ria. Tapi Rinda pemalu. Terlalu pemalu, sampai menyembunyikan rasanya di balik sifat kerasnya.

Ia ingat pertama kali bagaimana Rinda, gadis berumur empat belas tahun berhasil menggelitik hatinya dengan pandangan perempuan itu. bukan pandangan pertama. Itu pandangan untuk kesekian kalinya selama hampir dua tahun bersekolah di SMP yang sama. Mata dan situasi konyol Rin saat itu berhasil membuat dirinya mematenkan diri untuk mencintai gadis itu.

Saat itu kalau tidak salah pelajaran olah raga. Bukan-bukan. Saat itu hari sabtu, ya! Ekstrakulikuler. Ararinda yang memiliki tinggi diluar batas sebagai perempuan Indonesia mengambil ekstrakulikuler basket. Dia tidak bisa dibilang populer saat itu. populer macam apa yang masa kepopuleran nya dihabiskan dengan diolok-olok teman satu angkatan nya.

Dia di dorong kasar oleh kakak kelas. Entah siapa. Tapi kakak kelas itu berkerudung. Dan Rin seketika terjungkal jatuh. Ia mendengus sabar dan sadar diri langsung keluar lapangan karena kakinya terluka dan tak bisa meneruskan pertandingan. Semua orang terdiam. Mengasihininya dan beberapa meringis membayangkan betapa nyerinya.

“Bim! Kasih nih ke Rin!”.

“Emang kenapa,pak?”, “Kamu tuh! Ya mbok prihatin mas kalo ada temen jatuh. Kasihan siapa tahu luka nya parah”.

Bima meraih Betadine dan beranjak malas. Mendekati punggung Rinda. Si albino. Itu adalah panggilan untuknya. Karena tinggi berlebih, putih pucat yang kelewat wajar orang Indonesia. belum bercak merah di sekitar hidungnya. Pasti dia albino. Mana ada Bule tapi logat Jogja nya terlalu kental? Bahkan sifat kolot Jogja nya begitu khas. Rambut Coklat gelap Rin, keluar-keluar dari kunciran.

“Albino!”, Rin berbalik menatapnya “Ini!”.

Ararinda mengambilnya dan langsung mengoleskan pada luka di tangan nya yang sudah di bersihkan. Bima tetap terdiam. Terkejut. Rasa panik langsung melandanya. Albino nggak kenapa-kenapa,kan?. Bukan perihal luka atau darah gadis itu.

“Rin…”.

Panggilan Bima membuatnya kaget bukan main. Tumben pria itu memanggil namanya. Biasanya walaupun tidak jail seperti yang lain, cowok itu tetap memanggilnya albino.

“Mata kamu kenapa?”, suaranya bergetar.

“Hah! Kenapa?! Jangan buat panik, Bim!!”.

“Kok…”, Bima menarik nafas panjang “Sebelah item sebelah ijo?”.

Mata gadis di hadapannya melotot kaget. Ia berlari ke kamar mandi dan disusul Bima. Ia khawatir teman nya itu tadi waktu jatuh, tercolok batu tajam.

Satu menit.

Dua menit.

Akhirnya lima belas menit Rinda keluar. Wajahnya kesal bukan main dan matanya masih tetap sama. Rin terkejut karena Bima masih setia menunggu.

“Kamu ndak apa-apa kan, Rin?”.

Rinda mengangguk pelan. Ia menunduk dan berpikir sejenak, sebelum menatap Bima serius. “Jangan bilang-bilang ya, Bim. Mata ku tuh warna nya ijo. Tapi aku tutupin pake softlense”. Membayangkan perempuan itu dengan mata hijau sepenuhnya membuat Bima bergetar girang. Ia mengangguk senang. Rinda langsung menyatakan niatnya untuk pulang. Karena tidak mungkin tetap di sekolah dengan mata beda sebelah. Bima tertawa mengiyakan.

My Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang