16

2.2K 178 3
                                    


*

Sinar senja menyorot terang kulit pucat Rin. Matanya memandang kosong ke depan, tak berarah. Sedang tangannya, diam-diam mengusap foto perempuan yang diberikan Rio.

"Bukdeh tahu, gadis bukdeh udah besar. Kamu tahu apa yang mau lakuin, kamu bisa nanggung resikonya. Tapi bukdeh harap, biar kamu konsultasi sama suami mu dulu".

Mata hijau gadis itu menjelajah ruangan. Merasa bimbang atas keputusannya sendiri. Wanara sudah menelfonnya siang tadi, bilang kalau dia sudah sampai di Jogja. Tapi sampai mau maghrib, Rin masih duduk tak bergerak dengan kaku.

Isya lewat lima menit Rin baru sampai ke rumah. Keluarganya jarang makan malam bersama di atas meja makan, tapi kalau Wanara sudah pulang atau Waisha tengah berlibur. Meja makan pasti ramai. Setelah menaruh tas, Rin bergegas bergabung di meja makan.

Bapak sudah lebih dulu mengosongkan piring, sedangkan ibu beserta Wanara masih ada setengah makanan nya. Ia duduk di samping Wanara, menolak ibu yang hendak menyendoki makanan untuknya. Setelah selesai makan, Rin bahkan pergi ke kebun belakang.

Bintang terlihat malam ini. Keindahan itu mengejeknya. Bagaimana alam bisa begitu indahnya, sedang hatinya begitu gulandanya? Sebelum Bima datang memberikan secarik foto itu tak sedikitpun penasaran hinggap tentang siapa sebenarnya ia.

Rasa ingin berada dalam pelukan ibu kandungnya, jauh lebih kuat dari biasanya. Keresahan ini biarlah ia tanggung sendiri, belum kuat rasanya jika harus berbagi pada Wanara.



Wanara menatap tenang istri bule nya yang terlelap tidur, di bawah cahaya remang lampu tidur kamar mereka. Hembusan nafas Rin sangat teratur dan nyenyak. Disibaknya rambut coklat tua Rin yang menyembunyikan wajah cantik itu.

Bukannya tidak peka. Nara tahu ada yang tak beres dengan perempuannya sejak dua bulan yang lalu. Tujuh tahun yang lalu. Hatinya membenarkan. Namun, Nara menolak keras menerima itu. Mungkin perubahan itu terjadi akibat fase kedewasaan. Tetapi dua bulan ini jelas sekali ada sesuatu.

Apa Rin putus dengan kekasihnya?

Setan. Wanara menggelitik pipi pucat Rin, makin Rin terganggu semakin ia menggelitiknya. Sampai Rin terbangun, dengan lensa hijau terang penuh merah bekas tidur itu menatapnya nyalang. Pria cantik itu tersenyum dengan seragam bekas salat tahajudnya barusan. Wanara mencium kening Rin.

"Bangun yuk!", ajaknya riang "Lu cerita ada apa, mumpung suami ganteng lu punya waktu".

Ararinda berdiri tegak, dengan sigap merogoh kantong piamanya dimana foto itu terletak. Dan langsung memberikannya pada Wanara. Kata ibu, semua masalah harus diselesaikan secepatnya. Sebelum waktu yang menewaskan semuanya.

Lama tak ada jawaban dari Nara, pria itu masih menatap foto itu dengan dahi berkerut dalam. Dalam hati, Rin tahu betul kalau Wanara sudah mengerti apa yang membuatnya gundah. Mas Nara kan pintar.

Tanpa terduga Nara hanya tertawa kecil dan meletakan foto tadi di nakas terdekat. Dan menarik selimut mengelilingi tubuh mereka. Saat mata pria itu tertutup, Rin mengguncangnya keras.

"Menurut kamu gimana?",

"Darimana lu dapet foto itu?", "Dari temen"

Wanara hanya ber- 'oh' ria dan mulai memejamkan matanya. "Aku mau cari ibu ku, Mas". Ucap Rin merdu dan mantab. "Buat apa? Ibu kan lagi tidur sama bapak. Nanti ganggu acara malam mereka lagi".

"Ibu kandung ku",

"Lu nggak butuh dia", "Tapi aku peduli masalah ini,Mas".

"Dia nggak pernah anggap lu ada juga", "Tapi aku penasaran kenapa!".

"Ya karena dia nggak peduli sama lu! Dia bahkan nggak noleh sedikitpun,Rin!".

Mungkin ini adalah pertengkaran mereka sebagai suami istri. Pertengkaran sebenarnya. Bukan karena hal bodoh yang terjadi.

"Lu mikir perasaan ibu gimana? Beliau udah anggap lu anaknya, tapi enak banget lu ngomong mau nyari ibu lu! Lu fikir dong, ibu bakal mikir gimana. Kurang kasih sayang ibu sama lu?! Kurang sampe lu ngerasa ibu bukan ibu kandung lu?!",

Rinda hendak menjawab sebelum Wanara menciumnya keras.

"Tidur, besok baru kita lanjutin".

Nara memutar tubuhnya memunggungi Rin. Mencoba meredam amarahnya. Ia kecewa dengan Rin. Tidak seharusnya Rin berpikir seperti itu, bahkan ibu mencintainya lebih dari mencintai Wanara sendiri. Tidakkah ia sadar, satu-satunya ibu kandung yang ia punya ya ibu! Ibu Ana yang seorang bidan, dengan tumbuh gempal dan lesung yang manis.



Wanara menunggu Rin keluar dari kamar mandi. Semalam Rin pasti sedih. Bodohnya, perempuan itu malah diam. Memendam perasaannya dalam, sendirian. Padahal ia punya tangan Nara yang siap menghapus air matanya.

Rin keluar, sedikit canggung dengan keberadaan Wanara. Pria itu diam saja, khas kalau sedang banyak pikiran.

"Terserah kalau lu masih mau nyari ibu lu. Tapi inget, gimana caranya biar ibu nggak sakit hati".

Terang Wanara sembari menarik jaket biru tuanya dan mulai memakai. Sambil menguncir cepol rambut panjangnya, dan menatap Rin di balik cermin rias milik Rin.

"Sampe salam sama beliau kalau udah ketemu, selamat menyesal dan terima kasih. Ibu lu cuma seorang bidan, itu yang harusnya lu ngerti".

Ia berdiri, menghampiri Rin yang tertunduk dalam menangis. Wanara mengangkat wajah Rin, dan mengecup air mata yang keluar berulang kali. Sebelum mencium khidmat dahi Rin.

Nara menjauhkan wajah mereka, dan melihat wajah merah Rin. Kalau sedang dan sehabis menangis, muka Rin jadi merah. Apalagi ujung hidungnya yang merah seperti sehabis main di salju.

"Tangisan lu bagus. Natural. Cocok jadi pemeran utama film", ucap Nara girang "Judulnya babi yang tersiksa".

Dan dengan mudahnya, Nara menjentulkan kepala Rin ke belakang. Rin membalasnya dengan tendangan keras di bokong pria itu.



Wanara memang mungkin tak pernah mengerti. Apa yang dirasakan Rin saat ini. Ibu memanglah satu-satunya ibu yang ia kenal. Tapi ada sesuatu yang berlubang di hatinya. Dan Wanara takkan pernah mengerti itu.

Dia tak pernah merasakan menjadi anak yang dibuang ibunya. Mungkin memang, ibunya meninggalkan ia saat masih merah tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Wanara juga tak pernah tahu rasanya jadi anak itu. Ada tanda tanya yang besar yang harus ditembak dengan peluru jawaban, agar enyah dari kepala.

Tanpa berpikir sebelumnya, Rin sudah memencet tombol bel di hadapannya. Dan ia lakukan berulang kali. Menunggu jawaban.

"Rin?". 


*


*

Ciattt Mas Nara mah gitu...

Maaf cuma dikit kakak. 

Terima kasih untuk semua apresiasinya ya readers. yang vomment maupun pembacanya, semoga ikutan vomment ya kakak. :)) tetep tungguin My Little Bride ya semua. boleh kasih kritik dan saran loh.  Kabar baik nya Ngablu udah tahu mau gimana ini cerita nantinya. Meski tetep nggak di kerangka, tapi insha allah betapa nya nggak terlalu lama. ekspetasinya sih buat kesel Readers. Tapi kalo ndak ya...emang dasar Ngablu amatiran! hihihi

tunggu slow updatenya,semua! see you next part!!

Regards,


Aurigablue. 


My Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang