2

4.4K 222 2
                                    

“Wanara!!!!!”.

Itu baru ibu. Wanara tak kuasa menahan tawanya ketika mendengar suara sang ibu yang memanggilnya semangat. Beliau memang terkenal nyentrik dan tingkat heboh yang berlebihan. Ibu Ani ini berbanding terbalik dengan sifat semua anak nya yang dingin. Padahal suaminya sendiri, Pak Bowo juga tidak seperti anak-anaknya. Pria itu tergolong santai. Entah darimana gen super dingin, dan mematikan semua anak mereka.

Dada Wanara sesak karena dijepit oleh tubuh gembul ibunya. Meski gendut tapi ibu Ani ini memang terhitung awet muda dibanding orang yang seumuran dengan nya. Apalagi lesung pipi dalam miliknya yang tak membiarkan orang lain menolak keinginan nya. Ia menciumi pipi Wanara tanpa ampun.

“Aduh…kamu betah banget nang merantaunya. Emang nggak kangen gitu sama orang di rumah?”.

Perempuan itu tersenyum penuh maksud. Dan hanya dibalas ringisan kecil dari putranya. Ia menjadi heboh sendiri. Maklum bagi Wanara. Bagaimana rindunya seorang ibu ketika ditinggal pergi selama satu setengah tahun oleh putra satu-satunya. Memang sejak lulus kuliah Wanara jarang berada di rumah. Tapi biasanya setiap malam bahkan selarut apapun ia biasa menyempatkan diri untuk pulang, meski rumah menjadi beda fungsi menjadi tempat numpang tidur. Namun baru kali ini ia pergi jauh dan lama sekali pulangnya. Harus bagaimana lagi? Dia harus menetap di Batam demi kepentingan bisnis yang ia rintis sendiri. Dan bisnis nya itu harus berhasil, karena pinjaman yang di berikan Bank bahkan melebihi kekayaan nenek moyang Wanara yang paling sukses.

Meski berat meninggalkan Jogja beserta orang terkasih di dalamnya ia harus tetap pergi. Tagihan hutang yang membuntutinya menjadi pemicu semangat dan menjadikan jam kerja yang dilakoni nya melebihi jam kerja orang normal lain nya. Berkat usaha dan doa, uang modal yang diberikan Bank bisa dikembalikan sejak tiga bulan kepergian nya ke Batam. Bisnis pertambangan nya sukses besar. Tentu saja itu juga atas relasi luas Wanara dengan para Investor dengan modal menjanjikan. Tetapi ia sudah menjadi orang yang gila kerja sampai hampir saja ia lupa, ia harus mengontrol hidupnya dan ia memilikinya.

“Rinda kenapa bu?”,

“Ndak tahu, Mas. Sejak kemarin wajah nya ditekuk-tekuk terus”

“Abis putus cinta kali bu…”, jawabnya asal “Hssst….Nara! kalau ngomong tuh mbok ya dipikir dulu. Emang mau Rinda putus cinta?”.

*

Ararinda melipat mukenah nya lalu meletakan nya di laci nakas samping ranjang miliknya. Perempuan itu berjalan membuka jendela dan memandang langit. Hal yang selalu dilakukan nya ketika bimbang menyergap. Baginya ketika melihat ke atas, ia akan tersadar bahwa di atas sana ada yang akan mengatur hidupnya dengan rencana yang lebih indah dari yang dipikirkan. Dengan begitu hatinya akan menghangat dan keraguan yang dipusingkan perlahan akan menghilang.

Suara derak pintu kamarnya memberitahu bahwa ada yang masuk. Rinda tidak perlu menebak ia sudah tahu jawaban nya.

“Menurut mu Rhesa gimana?”.

“Baik,cantik,kurus, dan sedikit berlebihan kalau ketawa”,

“Wah,Rin…kamu cocok banget jadi stylish karena mulut pedas mu”.

“Ada perbedaan yang jelas antara pedas dan objektif, Mas”.

Wanara mengangkat bahunya tak peduli. Tangan nya asyik menyusuri tumpukan koleksi buku wanita itu. dan matanya pusing dengan judul-judulnya. Perempuan itu tengah tertarik mempelajari negeri asing rupanya.

“Abis putus ya?”.

Pas sekali. Ararinda benci ketika Wanara bertanya hal padanya tentang sesuatu yang tak ingin didengar olehnya. Tapi sayang nya sejak mereka kecil Wanara selalu membicarakan hal-hal yang selalu tidak disukainya. Rinda mencari bantal lalu melemparkan nya pada Wanara. Pria itu terkekeh hebat karena pertanyaan nya tepat sasaran.

“Di suruh turun, tuh ama ibu. Suruh bantu-bantu masak, jadi perempuan males banget sih lo!”.

*

“Mas Nara kok nggak bilang-bilang Rinda kalau mau buat resepsi pernikahan semewah itu?!”.

Ararinda menarik uratnya kesal. Wanara memang baru saja menyampaikan niatan nya untuk mengadakan resepsi pernikahan yang lumayan besar. Bukan untuk menunjukan bagaimana kaya diri Wanara sekarang. Tetapi untuk menjaga perasaan kolega bisnisnya. Tapi tentu saja bukan semacam resepsi sederhana, karena bisa jadi malah menjatuhkan nama baiknya sendiri di mata rekan kerjanya. Dan pasti Rinda menolak telak. Perempuan yang menobatkan dirinya alergi dengan pernikahan itu tidaklah mungkin menerima usulan Wanara.

“Itu mas mu bilang, nduk. kalau Nara nggak bilang, tahunya kamu bangun langsung ada resepsi aja”, Pak Bowo mulai angkat bicara.

“Aku ndak setuju, Pak. Aku ndak akan menghadiri pestanya kalau begitu”,

Ibu Ana menatap tingkah Rinda yang kelewatan. Ia hanya mampu menghela nafas sembari menggelengkan kepalanya. Gadis itu memang terkenal kolot sedari bayi. Kalau ia tidak suka tanda nya tidak. Alhasil jadi tidak bisa ditolak kemauan nya. Tapi sepertinya kini ia mulai tegas, agar Rinda tidak selalu memaksakan kehendak.

“Terserah Gue lah,Rin”, Wanara mulai terdengar jengah “Ada atau tanpa persetujuan lo, gue bakalan tetep ngadain resepsi”.

“Ya nggak bisa begitu, Mas!!”

“Kenapa nggak bisa?”.

“Karena aku kan pengantin wanitanya!!!”.

NOTE : maaf atas pemilihan diksi yang membosankan atau cerita yang nggak jelas. saya mencoba memperbaiki semua kesalahan dengan berjalanan nya proses penulisan. semoga cerita ini juga bisa menjadi penghibur readers sekalian ya. 

My Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang