7 ♡ HMFL

85 10 0
                                    


Seharian penuh Alara menghabiskan waktunya di dalam apartemen, tidak keluar sama sekali.

Ia puas puaskan dirinya berdoa pada Allah agar diberikan petunjuk jalan mana yang harus Alara pilih.

Alara bingung besok ia harus bertemu pak Junior dan memutuskan pilihannya. Bagaimana Alara harus memilih jika hatinya kepada seseorang?

Inilah yang membuat Alara bingung dan merasa bimbang.

- HMFL-

Keesokan harinya..

Alara semakin okey hari ini, ya.. Walaupun ia merasa lebih kurusan gara gara banyak menangis dan kurang makan.

Setelah kelasnya usai, Alara pergi ke halte karena motornya masih diperbaiki. Tapi ia juga heran kenapa Nadia tak masuk kelas?

"Assalamualaikum.. Alara.."

Alara menoleh dan terkejut siapa yang datang menghampiri nya.

"Apa.. Kamu sudah memutuskan?"

Alara terdiam, lalu tersenyum. "Waalaikusalam, mm.. Bisa kita bicara di tempat lain? Kebetulan kelas saya sudah selesai"

Pak Junior mengangguk mengerti dan mengajak Alara ke suatu kafe yang tak terlalu jauh dari kampusnya.

"Jadi? Bagaimana Ra?"

Alara masih terdiam menatap meja yang menjadi pembatas pak Junior dan dirinya. Keringat dingin mulai bercucuran, kakinya tak henti henti mengetuk ngetuk kecil pada lantai.

Apa Alara harus menjawab 'iya'? Atau 'tidak'? Apakah keputusannya benar?

"Saya.."

Belum saja menjawab, ponsel Alara berbunyi dan yang menelfonnya adalah mamanya Nadia. Alara dapat nomor telfon itu hanya untuk berjaga jaga.

Alara mengangkat telfonnya walaupun ia merasa ragu.

"Assalamualaikum.. Ada.. Apa ya Tan?"

"Waalaikumsalam.. Alara, cepet kerumah sakit ya?"

Aku mengernyitkan alisnya heran. "Emangnya kenapa?"

"Nadia.."

"Na, Nadia kenapa tante?" Alara berubah menjadi panik, apa yang terjadi dengan sahabatnya?

Alara mendengar ibunya Nadia menangis.

"Kenapa tan.."

"Alara.. Nadia berpulang"

Jdaaar!!

Nafas Alara terengah engah, tiba tiba dadanya begitu sesak. Kenapa? Ada apa dengan Nadia? Bukankah waktu itu Nadia baik baik saja?

"Ma, maksud tante apa?? Jangan bercanda deh.. Nggak lucu tan.." Ujar Alara masih mengelak

"I, ikhlasin ya Ra.. Nadia, Nadia.." Mamanya Nadia kembali menangis

"U, udah ya bun.." Alara mendengar suara papanya Nadia disana.

"Udah dulu ya Ra, kamu cepet kesini, di rumah sakit Permata"

Telfon itu dimatikan sepihak oleh papanya Nadia.

Tiba tiba tubuh Alara menjadi lemas, kenapa jadi begini? Kenapa semakin kemari semakin rumit?

Mata Alara menjadi kosong, dadanya jadi sesak akibat syok.

"A, Alara.. Kamu kenapa?" Tanya pak Junior khawatir perubahan Alara.

"Nadia.. Nadia.."

"Nadia kenapa?"

"Nadia.. Hiks.. Nadia berpulang.. Nadia udah nggak ada.." Alara menjadi menangis mengingat karena dirinya pernah meminta agar menjauh dulu, tapi kenapa jadi semakin menjauh.

Alara meremas kuat kerudung yang ia pakai, ia menyesal, ia menyesal meminta hal seperti itu pada sahabatnya sendiri!

"A, Alara.." Pak Junior terdiam melihat tingkah Alara, ia tahu jika Alara sedang bersedih karena sahabat terdekatnya telah pergi jauh..

"Kita ke rumah sakit sekarang, ayo Alara!" Junior membawa Alara ke mobilnya.

- °-°-

Sesampainya di rumah sakit..

"Tante.. Nadia kemana? Hiks.. Nadia nggak mungkin kan.. Nggak mungkin kan.." Alara semakin menangis, bukan, bukan ini yang Alara mau, Alara hanya ingin menjauh sebentar, bukan untuk selamanya!

"Kamu yang sabar ya Ra.."

"Gimana ceritanya tante.. Nadia baik baik aja kan? Nadia.."

"Kemarin, Nadia kecelakaan ditabrak mobil, hiks.. Lalu, dia sempet koma di rumah sakit, dan sekarang.. Dia udah gak ada Ra.." Jelas abangnya Nadia

"Nggak.. Nggak mungkin.. Terus kenapa nggak ada yang bilang kemarin Nadia kecelakaan! Hiks.. Nadia.."

Semuanya terdiam, mereka tahu Alara sangat terpukul karena kehilangan sosok sahabat yang selalu melindungi dan menemaninya. 

-^-^-^-

:) 

Hello My First Love ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang